Sunday, 21 October 2007
Barbie Dari Ayah
Aku sayang Ayahku. Sepanjang ingatanku, ia adalah seorang Ayah yang baik. Dalam kenanganku, ia selalu tertawa, jenaka penuh canda tawa, kata-katanya selalu membuatku merasa menjadi putri tercantik sejagat raya. Dan aku tahu, ia selalu berusaha keras memenuhi segala keinginanku.
Itulah sebabnya aku sangat tidak mengerti ketika ibu memutuskan untuk meninggalkannya. Pada suatu siang yang panas, ketika ayah tak ada, nenek terlelap tidur siang, tante Icha pergi ke kantor dan om Adi belum pulang kuliah, Ibu mengambil sebuah koper besar. Ia memasukkan seluruh bajunya dan bajuku yang tidak terlalu banyak kedalamnya. Juga semua mainanku, termasuk sebuah boneka Barbie hadiah dari ayah untuk ulang tahunku yang ke-7 hari itu. Sebuah taxi biru membawa aku dan Ibu serta koper besar itu meninggalkan rumah nenek. Aku dan Ibu memulai hidup baru berdua.
Tidak seperti Ibu yang kerap muram dan banyak mengatur, Ayah selalu gembira dan tak pernah marah. Ia selalu tertawa dengan mata yang merah dan mulut serta nafas yang beraroma aneh. Aku selalu dipeluknya dengan erat setiap kali ia pulang ke rumah. Meski pulang larut malam, ia kerap membangunkanku, mengajakku menari-nari sambil bernyanyi dengan suaranya yang sama sekali tak merdu. Kadang-kadang ia terjatuh selagi berusaha mengayunkan kaki seirama lagu yang disenandungkannya. Tapi ia tetap tertawa-tawa, lalu tertidur pulas di lantai atau sofa tempatnya terjatuh.
Kalau sudah seperti itu, Ibu hanya memandang dari kejauhan, lalu tanpa suara masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan nenek yang dengan tertaih-tatih akan masuk dan mengunci kamar. Hal yang sama dilakukan oleh tante Icha dan om Adi yang biasanya membanting pintu keras-keras.
Tak ada yang berani menyentuh Ayah. Tak ada yang mempedulikannya. Hanya aku yang tetap memeluknya, dan terkadang terlelap disampingnya sampai suara adzan dari surau di seberang rumah berkumandang dengan merdu.
Aku sangat menyayangi Ayah karena ia selalu bekerja keras. Ia sering tak pulang ke rumah, katanya bekerja lembur untuk mewujudkan kehidupan yang diimpikannya. Dengan gaya bicaranya yang lucu dan penuh semangat, ia bercerita tentang rumah yang sedang dibangunnya. Rumah itu megah berwarna putih bersih katanya. Aku, Ibu dan Ayah akan segera pindah ke rumah itu begitu Ayah mendapatkan cukup uang untuk menyelesaikan pembangunannya. Aku tak pernah diajak untuk melihatnya, tapi menurut Ayah, rumah itu mempunya halaman yang sangat luas. Ada kolam ikan dan air mancur yang selalu bergemericik di halaman belakang. Sementara itu, halaman depan diteduhi oleh deretan pohon cemara dan bunga berwarna warni. Oya, aku juga harus belajar berenang kata Ayah, karena sebuah kolam renang pribadi juga akan dibangun di samping rumah.
Aku diajaknya berangan-angan tentang kamar tidurku di rumah baru itu. Keempat dindingnya harus berwarna merah jambu, kataku. Aku juga ingin memiliki sebuah meja rias sendiri dimana dapat kutaruh sebuah boneka Barbie yang dapat berputar menari diatasnya. Sebuah meja belajar akan kutempatkan di sudut ruangan, lengkap dengan lampu belajar, deretan buku-buku cerita serta pensil berwarna-warni. Sebuah ruangan yang nyaman, bertirai putih transparan dan berpendingin udara tentunya. Wah, senangnya…… Dan Ayah berjanji akan membacakan cerita sebelum aku pergi tidur setiap malam.
Aku percaya Ayah bekerja keras dan menabung untuk itu semua, dan karena itulah Ayah tak pernah memberi Ibu uang belanja. Dalam tidurku yang belum lelap, sering aku mendengar mereka bertengkar mengenai hal itu, dan biasanya berakhir dengan ibu yang terisak dan ayah yang pergi meninggalkan rumah. Ayah akan kembali beberapa hari kemudian, dengan mata merah dan aroma yang aneh, lalu mengajakku menari-nari mengitari ruangan.
Tapi aku tetap menyayangi Ayah. Ia adalah sosok yang selalu menghiburku, yang memberiku angan dan harapan untuk semua mimpi-mimpiku. Dan tak ada yang lebih kuinginkan untuk hadiah ulang tahunku yang ke-7, tiga tahun yang lalu, selain sebuah boneka Barbie berambut pirang, bermata biru.
“Barbie Princess, Ayah. Yang bajunya panjang berwarna ungu. Juga ada tongkat, mahkota dan sisir untuk merapikan rambutnya,” rengekku malam itu.
Ayah tertawa, memelukku dengan erat, mencium rambutku dan berjanji akan membawakan boneka Barbie seperti yang kupinta.
Sepulang sekolah esok harinya, aku mendapati sebuah kado yang terbungkus rapi di atas tempat tidurku. Dari Ayah!, batinku girang. Kusobek bungkusnya dengan hati berdebar-debar, dan pelan kukeluarkan kotak berisi sebuah boneka Barbie, persis seperti yang kuinginkan. Aku segera memanggil ibu, dan menari-nari mengitari kamar bersama Barbie Princess-ku. Tapi ibu tidak membalas dengan senyum manisnya. Ia duduk di sudut tempat tidur dan menggamitku untuk duduk tenang di hadapannya.
“Tante Icha kehilangan hape-nya. Katanya semalam ditaruh di dekat televisi. Kamu lihat tidak?,” tanya Ibu dengan mata menyelidik.
Aku terdiam memandangi Barbie-ku yang tersenyum dengan matanya yang berbinar-binar.
“Kan semalam kamu dan Ayah yang paling akhir menonton televisi?” suara Ibu kian terdengar mendesak.
Aku membelai-belai rambut Barbie-ku. Ayah telah mewujudkan impianku! Akhirnya, aku memiliki sebuah boneka Barbie seperti teman-temanku yang lain.
Lalu Ibu menjentik daguku dan melihat langsung ke mataku.
“Kamu lihat tidak?” tanyanya lagi dengan suara yang lebih tegas.
Aku menarik nafas panjang. Kupegang erat Barbie-ku seolah seseorang akan segera merebutnya dari tanganku.
“Dikantongin sama Ayah,” kataku akhirnya.
Ibu langsung melirik boneka Barbie-ku. Lalu bergegas mengemas bajunya dan bajuku untuk kemudian meninggalkan rumah nenek di siang yang panas itu. Aku tahu, bukan sekali ini Ayah mengambil barang-barang nenek, tante Icha dan om Adi tanpa seijin mereka.
Kini umurku 10 tahun, dan aku tetap sayang Ayah meski sudah tiga tahun tak bertemu. Tidak seperti Ibu yang berhenti mencintai dan pergi meninggalkannya, aku tak pernah berhenti menyayangi Ayah meski orang menyebutnya sebagai penganggur, pemabuk, pemadat dan pencuri.
Picture from here
Subscribe to:
Posts (Atom)