Wednesday 29 August 2007

Akhir


Buku dan secangkir kopi
Adalah temanku kala menunggumu
Diantara gegas langkah beragam manusia
Dengan berbagai kisah di balik senyum dan tawanya

Adakah aku masih menunggu mu kini?
Sementara kepulan panas kopi sudah mereda
Dan lembar-lembar buku itu sudah mulai terkoyak
Lelah…

Karena kita adalah dua kutub yang berbeda
Dengan jalan hidup yang tak perlu bersinggungan
Kecuali untuk berbagi canda dan cerita
Dan bukan gemuruh rasa yang kadang datangkan amarah dan air mata

Jadi biarlah angin membawa kita
Ke padang luas yang lengas dan tanpa batas
Sampai ia kembali menghembuskan
Lembar-lembar baru yang lebih berwarna

Peluk cium untukmu
Sahabatku, selalu…


Picture by Eva Muchtar

Wednesday 8 August 2007

Lelaki Lelaki

Selasa, jam 8 pagi, Johan terbangun oleh dering ponselnya.

“Jo, gimana ya?” suara Siska terdengar begitu gundah.
“Apanya yang gimana?” jawabnya kalem.

“Ronny. Semalem dia pulang telat lagi, ga jelas kemana. Tapi tadi pagi dia ekstra perhatian. Aku dibuatin kopi! Terus dia bilang aku cantik dengan baju baru. Padahal baju itu sudah kupakai tiga kali! Aku curiga Jo....,” suara perempuan itu tambah memelas.

“Curiga apa?”
“Ada perempuan lain, Jo. Ini naluri seorang istri....,” suaranya mulai bergetar, lalu terisak.
“Ga mungkin lah Sis. Kalau nalurimu benar, aku pasti tau. Aku kan sudah belasan tahun kenal Ronny. Pasti dia cerita….”

“Kamu mau tolongin aku ga, Jo?”
“Tolong gimana?”
“Cari tau apakah naluriku benar”
“Iya, beres. Kalau iya, pasti kamu aku kasih tau”

“Thanks, ya Jo. Kamu sahabat yang baik”
“He eh, anytime...”

Johan menarik napas panjang. Lalu dengan tergesa bangun dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin.

Johan dan Ronny sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Sebuah persahabatan yang unik, karena tak sedikitpun ada kesamaan di antara mereka.

Johan adalah lelaki yang sangat cuek dengan rambut yang selalu terlihat sudah waktunya dipangkas. Bicaranya pendek-pendek, mengisyaratkan bahwa ia tak memandang penting lawan bicaranya. Hanya ada dua topik pembicaraan yang mampu membuatnya hidup: musik dan lingkungan. Ia seorang music arranger sekaligus aktivis lingkungan dan pendaki gunung yang handal.

Sebaliknya, Ronny adalah seorang gentleman sejati. Ia seorang pendengar yang baik dan selalu bisa menghangatkan suasana dengan joke-joke yang smart. Pekerjaannya di divisi marketing sebuah perusahaan FMCG terkemuka telah membuka perkenalannya dengan Siska, seorang copywriter pada sebuah biro iklan papan atas.

Dan Ronny mampu mengaduk-aduk perasaan perempuan itu. Siska terbuai dalam hari-hari berisi coklat Toblerone, buket mawar dan senandung Andrea Bocelli. Tak ada alasan untuk berkata tidak ketika Ronny meminangnya setahun setelah mereka berkenalan. Semua berjalan sempurna.

############################

29 hari setelah suara gundah Siska membangunkan Johan pada pukul 8 pagi.

“Jo, nanti malem ada acara ga?”
“Ga, kenapa?”
“Aku ulang tahun hari ini,”
“Oh, happy birthday…. Mau traktir makan?”
“Iya, Ronny barusan ingetin aku untuk ngundang kamu. Katanya kalian udah lama ga ketemu ya?”
“Iya. Oke deh…”
“K, cu ya…”

Malam itu, di sebuah lounge hotel berbintang lima di kawasan Senayan, Johan mendapati Siska duduk sendirian, bermain game di ponsel nya.

“Hai, mana Ronny?”
“Ronny telat, ngejar deadline tadi. Sekarang pasti lagi kena macet…”
“Oh…., iya, macet banget hari ini…”
“Kata Ronny kita makan duluan aja. Kita order sekarang ya?”

Siska lalu berceloteh tentang rumah baru mereka, tentang produk sabun yang akan diluncurkan kliennya, tentang rencana liburan ke Bali akhir tahun ini. Hmmm, Siska terlihat lebih cantik dengan potongan rambut baru ini, pikir Johan. Ia juga terlihat sexy dengan kaos hitam ketat berbelahan dada rendah itu. Betapa beruntungnya Ronny mendapatkan perempuan ini.

“Jo, inget ga waktu aku telpon kamu beberapa minggu yang lalu itu?” tiba-tiba Siska mengalihkan pembicaraan.

“Yang mana?”
“Yang aku bilang sepertinya Ronny ada perempuan lain itu lho…..”.

Johan menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Ia gusar, tapi Siska malah tertawa.

“Don’t worry, aku bukan mau mengeluh lagi kok. Aku pikir, aku emang suka kelewat curiga. I have to learn to trust him more”.

“Iya, bener tuh Sis,”
jawab Johan lega. “Laki-laki paling ga suka dicurigai”.

“Aku bilang ke Ronny, buatku, yang penting aku tau dia berada dimana. Jadi sekarang kalau pulang telat, dia selalu telpon atau sms. Kasian juga sih emang, kalau dia pulang telat karena lembur, eh sampai rumah aku malah cemberut…” .

“Iya betul, you have to trust each other. Itu yang akan membuat sebuah perkawinan survive,” ujar Jo mantap.

Tepat saat itu, Ronny muncul dengan sebungkus kado kecil berpita merah jambu. Dikecupnya kening istrinya.

“Sorry ya hon, another hectic day in the office…..” .
“Iya, ga apa-apa kok, untung ada Johan….”
“Hai Jo, kemana aja? How’s life, man…..?“
sapa Ronny sambil menonjok pelan sahabatnya itu.

Johan berdiri dari kursinya.

“Aku ke toilet dulu,” ujarnya pendek.

Di toilet yang wangi itu, Johan menurunkan tutup closet dan duduk dengan tangan mengacak rambut yang sudah waktunya dipangkas. Terngiang kembali suara Siska yang penuh kekhawatiran:

Ronny telat, ngejar deadline tadi. Sekarang pasti lagi kena macet…

Lalu dengan perlahan ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan membaca kembali pesan pendek dari Ronny:

Jo, tolong temenin Siska dulu. Gue masih sama Nancy. Tks.

Johan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ronny tak pernah berubah. Mengapa perempuan begitu mudah untuk dikelabui?


Images from here

Saturday 4 August 2007

Dua Cappuccino

Di sepenggal sore dengan rintik hujan yang tak mau berhenti, sepasang lelaki dan perempuan memasuki sebuah kedai kopi dengan replika menara Eiffel di sudut ruangan. Alunan karya-karya Tchaikovsky lembut mengelus telinga, ruangan yang temaram, dan sekuntum mawar merah di atas setiap meja mungil bertaplak kotak-kotak merah. Sebuah setting yang romantis.

“Dua cappuccino panas dan satu waffle strawberry. Dua garpu ya, mas” kata si perempuan kepada pelayan, tanpa bertanya kepada pasangannya. Sebuah tindakan yang jelas mengisyaratkan bahwa ini bukanlah pertemuan mereka yang pertama, atau yang kedua.

Si lelaki langsung menyalakan sebatang Marlboro Light putih. Matanya menerawang menembus asap putih yang dihembuskan dengan berat.

“Jadi gimana?,” tanyanya kepada si perempuan tanpa mengalihkan pandangannya dari kepulan asap.

“Menurut kamu gimana?,” si perempuan balik bertanya.

“Don’t answer my question with question! Itu kebiasaan buruk kamu,” suara si lelaki terdengar meninggi.

Mata si perempuan langsung berkaca-kaca. Apa yang harus dikatakannya? Ia begitu menyayangi lelaki ini. Lelaki yang setahun belakangan ini menjadi tumpahan segala rasa di hatinya, yang sanggup membawakannya semburat pelangi di hari-harinya yang terkadang mendung dan muram.

Lelaki ini adalah sahabat masa kecilnya, yang tinggal di ujung kelokan rumahnya. Mereka melewati masa kecil bersama, berangkat ke sekolah berdua, berlari-lari dalam hujan, bersepeda di sore yang jingga, tertawa-tawa dan saling menggoda. Ah indahnya. Itu adalah cerita 20 tahun yang silam.

“Cappuccino nya mbak, silakan,” pelayan muda menempatkan secangkir cappuccino panas di hadapannya, lalu secangkir lagi di hadapan si lelaki, serta sepiring waffle dengan lelehan strawberry sauce yang segar dan dua garpu di antara dua cappuccino.

“Ga mungkin diterusin, kan?” suara si lelaki terdengar seperti gema dari lorong yang jauh.

Butir-butir air mata mulai bergulir di pipi si perempuan yang halus. Ingatannya melanglang ke masa awal kuliah, pertemuannya kembali dengan si lelaki setelah 10 tahun ia dan keluarganya pindah dari rumah di ujung tikungan tempat tinggalnya. Pertemuan di sebuah toko buku.

“Hai..., ini kamu kan?” si lelaki menegur dengan lucu. Matanya menari-nari dengan kepala condong ke kiri, sebuah kebiasaan semenjak kecil ketika ia sedang ingin menggoda.

“Hai..., apa kabar? Dimana kamu sekarang?” si perempuan tergagap menatap lelaki di hadapannya, setengah tak percaya.

“Di sini..., hahaha...,” jawab si lelaki dengan terbahak.

“Ah, kamu masih lucu aja....”

“Ayo, kita ngobrol dulu, sambil makan es krim yuk?”
ajak si lelaki.

Dan hari-hari selanjutnya mereka isi dengan pertemuan-pertemuan yang penuh canda tawa. Sayang cerita itu tak sempat berlanjut, karena si perempuan tak membuka pintu dengan lebar, dan si lelaki pun tak mengetuknya dengan lebih keras. Si lelaki menghilang begitu saja, dan si perempuan tak pernah juga mencari jejaknya.

Sampai 10 tahun kemudian, pertemuan kembali terjadi. Pada sebuah bank, ketika si perempuan berdiri bosan di antrian yang panjang. Lelaki itu tiba-tiba saja sudah ada disampingnya, dengan tatapan mata yang menari-nari dan kepala condong ke kiri.

“Ayo, kita ngobrol dulu, sambil ngopi yuk?” begitu ajaknya kali ini.

Dan dimulailah ritual menenggak cappuccino bersama, dari satu kedai kopi ke kedai lainnya. Lalu tatapan mata yang menari-nari lambat laun berubah menjadi lembut dan hangat, memancarkan kasih dan kerinduan.

Persahabatan di masa kanak-kanak dan remaja, kini telah menjadi persahabatan di antara seorang lelaki dan perempuan dewasa. Tapi bisakah persahabatan di antara lelaki dan perempuan dewasa tetap menjadi sebuah persahabatan? Tak ada yang kuasa menghentikan ketika canda tawa menjadi genggaman tangan, genggaman tangan menjadi pelukan mesra, lalu kecupan hangat, dan kemudian sentuhan-sentuhan yang kian memanas, sampai keduanya tak dapat lagi menahan letupan gairah yang terasa begitu wajar.

“I want you.......,” bisik si lelaki diantara rambut coklat si perempuan yang tergerai wangi.

Dan si perempuan menyerahkan dirinya dengan segenap rasa, tanpa syarat, tanpa ikatan. Gelombang itu dengan dahsyat melemparkannya ke ruang yang penuh warna, menghempaskannya di tumpukan awan yang lembut dan menyeretnya kembali ke pasir putih yang hangat. Ia menemukan rumahnya, and it just feels so right...., kenang si perempuan.

“Aku sudah cari-cari info,” suara lelaki itu memecah keheningan. “Kalau kamu siap, kita tinggal datang besok. Lebih cepat lebih baik”.

Ya, lebih cepat mereka mendatangi klinik itu lebih baik. Ini adalah keputusan paling rasional yang harus mereka ambil sebelum perut si perempuan makin membuncit. Ritual menenggak cappuccino bersama memang seharusnya tidak dimulai, sesal perempuan itu. Semua seharusnya tidak dimulai, karena sebentuk cincin emas berukir nama perempuan lain telah terlingkar di jari manis si lelaki.

Rintik hujan sudah berhenti. Kepulan asap Marlboro Light telah memudar. Alunan orkestra yang menyenandungkan karya-karya Tchaikovsky pun telah berganti dengan denting gitar Tohpati, Sendiri.

The game is over, life goes on. Now is the time to face the reality.

Sepasang lelaki dan perempuan berdiri meninggalkan meja bertaplak kotak-kotak merah dengan hidangan yang tak tersentuh dan wajah yang muram.

Di antara dua cappuccino, ada sepiring waffle strawberry, yang tak mungkin mereka singkirkan.

Images from here, here and here