Wednesday 8 August 2007

Lelaki Lelaki

Selasa, jam 8 pagi, Johan terbangun oleh dering ponselnya.

“Jo, gimana ya?” suara Siska terdengar begitu gundah.
“Apanya yang gimana?” jawabnya kalem.

“Ronny. Semalem dia pulang telat lagi, ga jelas kemana. Tapi tadi pagi dia ekstra perhatian. Aku dibuatin kopi! Terus dia bilang aku cantik dengan baju baru. Padahal baju itu sudah kupakai tiga kali! Aku curiga Jo....,” suara perempuan itu tambah memelas.

“Curiga apa?”
“Ada perempuan lain, Jo. Ini naluri seorang istri....,” suaranya mulai bergetar, lalu terisak.
“Ga mungkin lah Sis. Kalau nalurimu benar, aku pasti tau. Aku kan sudah belasan tahun kenal Ronny. Pasti dia cerita….”

“Kamu mau tolongin aku ga, Jo?”
“Tolong gimana?”
“Cari tau apakah naluriku benar”
“Iya, beres. Kalau iya, pasti kamu aku kasih tau”

“Thanks, ya Jo. Kamu sahabat yang baik”
“He eh, anytime...”

Johan menarik napas panjang. Lalu dengan tergesa bangun dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin.

Johan dan Ronny sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Sebuah persahabatan yang unik, karena tak sedikitpun ada kesamaan di antara mereka.

Johan adalah lelaki yang sangat cuek dengan rambut yang selalu terlihat sudah waktunya dipangkas. Bicaranya pendek-pendek, mengisyaratkan bahwa ia tak memandang penting lawan bicaranya. Hanya ada dua topik pembicaraan yang mampu membuatnya hidup: musik dan lingkungan. Ia seorang music arranger sekaligus aktivis lingkungan dan pendaki gunung yang handal.

Sebaliknya, Ronny adalah seorang gentleman sejati. Ia seorang pendengar yang baik dan selalu bisa menghangatkan suasana dengan joke-joke yang smart. Pekerjaannya di divisi marketing sebuah perusahaan FMCG terkemuka telah membuka perkenalannya dengan Siska, seorang copywriter pada sebuah biro iklan papan atas.

Dan Ronny mampu mengaduk-aduk perasaan perempuan itu. Siska terbuai dalam hari-hari berisi coklat Toblerone, buket mawar dan senandung Andrea Bocelli. Tak ada alasan untuk berkata tidak ketika Ronny meminangnya setahun setelah mereka berkenalan. Semua berjalan sempurna.

############################

29 hari setelah suara gundah Siska membangunkan Johan pada pukul 8 pagi.

“Jo, nanti malem ada acara ga?”
“Ga, kenapa?”
“Aku ulang tahun hari ini,”
“Oh, happy birthday…. Mau traktir makan?”
“Iya, Ronny barusan ingetin aku untuk ngundang kamu. Katanya kalian udah lama ga ketemu ya?”
“Iya. Oke deh…”
“K, cu ya…”

Malam itu, di sebuah lounge hotel berbintang lima di kawasan Senayan, Johan mendapati Siska duduk sendirian, bermain game di ponsel nya.

“Hai, mana Ronny?”
“Ronny telat, ngejar deadline tadi. Sekarang pasti lagi kena macet…”
“Oh…., iya, macet banget hari ini…”
“Kata Ronny kita makan duluan aja. Kita order sekarang ya?”

Siska lalu berceloteh tentang rumah baru mereka, tentang produk sabun yang akan diluncurkan kliennya, tentang rencana liburan ke Bali akhir tahun ini. Hmmm, Siska terlihat lebih cantik dengan potongan rambut baru ini, pikir Johan. Ia juga terlihat sexy dengan kaos hitam ketat berbelahan dada rendah itu. Betapa beruntungnya Ronny mendapatkan perempuan ini.

“Jo, inget ga waktu aku telpon kamu beberapa minggu yang lalu itu?” tiba-tiba Siska mengalihkan pembicaraan.

“Yang mana?”
“Yang aku bilang sepertinya Ronny ada perempuan lain itu lho…..”.

Johan menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Ia gusar, tapi Siska malah tertawa.

“Don’t worry, aku bukan mau mengeluh lagi kok. Aku pikir, aku emang suka kelewat curiga. I have to learn to trust him more”.

“Iya, bener tuh Sis,”
jawab Johan lega. “Laki-laki paling ga suka dicurigai”.

“Aku bilang ke Ronny, buatku, yang penting aku tau dia berada dimana. Jadi sekarang kalau pulang telat, dia selalu telpon atau sms. Kasian juga sih emang, kalau dia pulang telat karena lembur, eh sampai rumah aku malah cemberut…” .

“Iya betul, you have to trust each other. Itu yang akan membuat sebuah perkawinan survive,” ujar Jo mantap.

Tepat saat itu, Ronny muncul dengan sebungkus kado kecil berpita merah jambu. Dikecupnya kening istrinya.

“Sorry ya hon, another hectic day in the office…..” .
“Iya, ga apa-apa kok, untung ada Johan….”
“Hai Jo, kemana aja? How’s life, man…..?“
sapa Ronny sambil menonjok pelan sahabatnya itu.

Johan berdiri dari kursinya.

“Aku ke toilet dulu,” ujarnya pendek.

Di toilet yang wangi itu, Johan menurunkan tutup closet dan duduk dengan tangan mengacak rambut yang sudah waktunya dipangkas. Terngiang kembali suara Siska yang penuh kekhawatiran:

Ronny telat, ngejar deadline tadi. Sekarang pasti lagi kena macet…

Lalu dengan perlahan ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan membaca kembali pesan pendek dari Ronny:

Jo, tolong temenin Siska dulu. Gue masih sama Nancy. Tks.

Johan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ronny tak pernah berubah. Mengapa perempuan begitu mudah untuk dikelabui?


Images from here

2 comments:

Anonymous said...

salam kenal luna,

apa memang tabiat perempuan ya, hanya mendengar apa yang ingin didengar..dipublished dong cerpennya lun..

Luna said...

Hm, ada benernya juga tuh Lya... Thanks for visiting my blog ya, komentar lainnya ditunggu!