Thursday 28 August 2008

Rindu itu...

Rindu itu luar biasa indahnya. Indah, meski ia tajam mengoyak jantung yang tengah berdegup dengan lembut. Dan saat rindu itu semakin memagut, mengiris-iris hati yang berubah warna menjadi ungu, kita seperti kehilangan oksigen. Semakin kita mencarinya, semakin kita tergagap dan jatuh ke dalam ruang hampa udara.

Dan itu yang aku rasakan kini.

Rindu itu tiba-tiba saja datang lewat aroma dari sebotol kecil EDT keluaran The Body Shop. Aroma mawarnya membawaku kembali ke pertemuan kita di sepenggal senja, di bulan September setahun silam, di sebuah kedai kopi dengan sofa-sofanya yang empuk berwarna kecoklatan. Aku menunggumu dengan sebuah buku dan secangkir peppermint tea hangat. Lalu kamu datang dengan nafas tersengal karena waktu di tanganmu menunjukkan bahwa kamu telah setengah jam terlambat.

“Sori…, udah lama ya…?” tanyamu khawatir.

Aku hanya tersenyum, menatapmu sambil mengaduk minumanku yang tak lagi hangat, lalu meneguknya sedikit tanpa melepas tatapanku dari matamu. Aku tersanjung melihatmu begitu khawatir.

“Kemana dulu sih…?” tanyaku setengah merajuk, seolah tak peduli dengan tatapan matamu yang berharap pengertianku.

“Aku tadi beli ini untuk kamu. Mudah-mudahan suka.”

Sebotol kecil Cassis Rose EDT berwarna merah jambu. What a surprise! Aku tidak sedang berulang tahun dan aku tidak sedang merayakan apapun. Belum ada seorang pun yang tiba-tiba memberiku sesuatu tanpa alasan yang jelas. Tapi kamu melakukannya seolah itu adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Kamu malahan mengajakku berdiskusi tentang strategi pemasaran The Body Shop dan Anita Roddick dengan ide-idenya yang cemerlang. Dan seperti biasa, diskusi itu tak berujung pada kesepakatan. Untungnya, kita sependapat bahwa wangi yang merebak dari botol kecil itu sungguh sangat menentramkan hati. Aromanya menawarkan kenyamanan, membawa kita ke sebuah rumah kaca yang penuh dengan mawar berwarna-warni dan hamparan rumput hijau serta pucuk-pucuk cemara di sekelilingnya.

Berhari-hari setelahnya – bahkan sampai hari ini – aku selalu bertanya-tanya, apakah aku boleh merasa tersanjung dengan pemberianmu, seperti aku tersanjung melihat matamu yang penuh kekhawatiran? Apakah wangi mawar itu merupakan sebuah ungkapan yang tak dapat kau utarakan padaku? Tapi, ungkapan apa? Aku tak ingin berandai-andai, aku tak ingin tersanjung tinggi untuk kemudian jatuh di hamparan karang yang memerihkan.

Aku hanya tau bahwa aku selalu merindukanmu. Aku rindu percakapan kita yang tak selalu mengalir. Aku rindu debat kusir kita yang tak pernah berujung dengan kesepakatan. Aku rindu kesalahpahaman kita yang menggelikan. Aku bahkan rindu marahmu.

Rindu ini membuatku ingin berlari di padang rumput yang hijau dengan bunga lantana berwarna kuning, putih dan jingga. Aku ingin terbang dan menghempaskan tubuhku yang letih di awan putih yang bergerak pelan terhembus angin. Aku ingin berkelana tanpa tau apakah bisa kembali, mengarungi samudera dengan ombak yang mengangkatku setinggi elang yang mengepakkan sayap dengan keangkuhannya. Aku ingin itu semua seperti aku ingin kembali berada disisimua sembari menatap kedua bola matamu. Keinginan yang kutau tak mungkin kudapatkan.

Seperti pertemuan pertama kita yang biasa-biasa saja, pertemuan terakhir kita juga tak terasa istimewa. Kita bertemu di sebuah kedai makan yang menyajikan nasi hainan dan bebek panggang kegemaranmu. Kita bicara panjang lebar, utara selatan, politik, infotainment, strategi pemasaran, sampai ke masalah sistim pendidikan saat iniI. Diskusi yang menyenangkan, yang selalu memperkaya jiwa, meski sekali lagi, tak ada kesepakatan. Mungkin itulah yang menjadikanmu candu bagiku. Kamu selalu mengisi gelasku yang separuh kosong menjadi penuh kembali. Kamu memberikan semburat jingga pada langit yang putih dan kelabu. Kamu meneteskan embun di padang kerontang yang minim oksigen.

Dan dalam pertemuan siang itu, tepat saat aku menyendokkan suapan terakhirku, kamu dengan santainya mengatakan bahwa dalam dua hari ini kamu akan berangkat ke negeri kangguru untuk meneruskan menimba ilmu.

Aku terhenyak, meneguk teh hijauku yang mengepul panas, lalu menyenderkan bahuku yang terasa lunglai. Pandanganku kabur, telapak tanganku dingin dan lembap, jantungku berdegup kencang bak beduk yang bertalu-talu saat Lebaran menjelang.

Tak ada apa-apa lagi setelah kepergianmu. Mungkin pada akhirnya kita sepakat bahwa some things are better left unsaid and some mysteries are better left unsolved.

Rindu itu luar biasa indahnya, meski gelasku kembali separuh kosong, langitku menjadi kelabu dan hatiku berubah ungu. Rindu itu tetap luar biasa indah.

.
.
Picture from here.

Saturday 5 July 2008

Soul Mate

Ponsel CDMA ku berkedip-kedip. Sebuah pesan pendek, dari dia. Sudah seminggu lebih ini aku dan dia tidak bertukar pesan pendek. Sebuah hal di luar kebiasaan. Sengaja aku tak menghubunginya, karena aku yakin, ia pasti akan menghubungiku lebih dahulu. Dan aku benar.

Kubaca deretan huruf di layar ponsel yang tak terlalu lebar itu.

Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.

Aku terkesiap. Ha? Maksudnya?

Dia selalu menganggapku sebagai soul mate-nya. Matanya selalu berpendar-pendar saat menerangkan panjang lebar alasannya menganggapku sebagai soul mate nya. Lalu ia akan terdiam beberapa lama begitu sadar aku menatapnya dengan bibir tersungging senyum, susah payah menahan tawa. Aku tau ia sedih dan kecewa karena aku selalu menganggap masalah soul mate ini sebagai urusan anak smu yang percaya bahwa cinta sejati itu ada.

“Kenapa sih penting banget masalah soul mate ini, Ri?” tanyaku suatu waktu. Bukan karena aku benar-benar ingin tau alasannya, tetapi lebih karena guilty feeling telah membuatnya merasa disepelekan.

Ia menatapku seolah aku bertanya ada berapa jari tangan yang dimiliki oleh seorang manusia bertubuh sempurna.

“Kalau sudah kutemukan, tentu aku akan berhenti mencari. Dan aku akan selalu bersamanya sampai akhir nafasku”. Gaya bicaranya menggemaskan. Persis seperti ibu guru fisika yang mencoba menerangkan hukum phytagoras kepada murid laki-lakinya yang bebal.

“Jadi apa sih yang kamu maksud dengan soul mate itu,” tanyaku iseng. Aku tau pertanyaan ini bisa membuka diskusi berjam-berjam. Atau mungkin bukan diskusi, lebih tepat monolog dari bibir ranumnya itu.

Tapi ternyata malam itu ia tidak terlalu bersemangat untuk ber-monolog. Perempuan bermata indah itu hanya berkata singkat, “Belahan jiwa, Raka.” Lalu memelukku dengan erat, seakan sebuah pesawat telah siap di landasan untuk membawaku ke daratan Rusia yang dingin dan beku.

Aku membelai rambutnya yang kecoklatan. Nyaman sekali rasanya bisa merengkuhnya dalam pelukanku. Entah berapa lama aku dan dia berdiam dalam posisi seperti itu, sampai suaranya memecahkan keheningan.

“Ini salah satu bukti bahwa kita soulmate, Ka. Kita bisa merasa nyaman bersentuhan dalam waktu yang lama tanpa merasa terbebani untuk bicara”.

“Hahaha, tapi kenapa kamu bicara juga….,” tak tahan aku tertawa dan melepaskan pelukanku. Ia bersungut-sungut. Kelihatan sekali kekesalan hatinya dibalik matanya yang redup dan sayu.

Aku kembali merasa bersalah dan ingin segera kembali merengkuhnya untuk merasakan kenyamanan tadi. Tapi, ah, rasanya lebih seru kalau aku kembali menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol itu.

“Jadi coba terangkan kepadaku sekali lagi, kenapa kau menganggap aku sebagai soul mate-mu.”

Ia merapikan rambutnya, mengubah posisi duduknya dan menatapku dengan matanya yang bening. Ia seperti tengah menghadap dosen favorit yang baik hati, tapi telah dua kali memberinya nilai F.

“Karena kamu selalu tiba-tiba muncul setiap kali aku membutuhkanmu, kamu selalu mengatakan sesuatu yang ingin aku tanyakan, bahkan pesan pendek mu selalu muncul tepat saat aku merogoh ponselku untuk mengecek apakah kamu sudah menjawab pesanku. Kamu juga sering mengalami itu kan?”

Aku setengah mati menahan agar senyum di bibirku tidak mengembang.

“Ah, itu kan kebetulan….,” kataku ringan.

“Kebetulan tidak datang berkali-kali, Raka,” jawabnya melankolis. ”Aku selalu tau apa yang kamu inginkan dan kamu selalu mengerti apa yang aku rasakan.”

“Kecuali masalah soul mate ini, hahaha…..” potongku sambil tergelak.

Ia tercenung. Ingin sekali aku kembali merengkuhnya, membelainya, menciuminya. Tapi aku tak mau terbawa ke suasana yang sentimentil. Terlalu berbahaya. Pagar itu harus erat kujaga.

“Sudah lah Ri. Apa sih yang kau harapkan dari ku? We are having fun kan? It’s just a game. Sebentar lagi juga kamu akan bosan padaku, aku juga masih ingin bertualang dengan perempuan lain. Let’s make the best of what we have now.”

Ia menarik nafas panjang. Ia tau aku tak pernah mau bicara tentang cinta dan ikatan. Ia tau aku adalah elang jantan yang ingin bebas terbang tinggi dan menukik untuk memangsa, kemudian kembali ke langit biru tanpa menoleh sedikitpun.

Lalu seperti biasa, aku dan dia melewati malam itu dengan desahan panjang dan pagutan yang tak lepas-lepas. Dua raga melebur menjadi satu. Dua jiwa bergejolak dengan jalan pikirannya masing-masing. Bagiku, ini adalah sebuah permainan yang penuh kenikmatan. Baginya? Aku tak mau tahu. Aku tak ingin tahu. Sampai ia berkemas merapikan diri ketika suara penjual roti dan tukang sayur mulai ramai menjajakan dagangannya.

“Aku tidak bisa terus seperti ini, Ka”.

Aku tak menjawab. Kuraih Marlboro putihku dan segera kuhembuskan kepulan-kepulan asap putih. Aku benci situasi seperti ini. Aku tak ingin terperangkap. Aku tak mau terbawa suasana.

“Terserah,” jawabku kemudian tanpa menatapnya.

Lalu ia pergi, dan tak lagi mengirimiku pesan-pesan pendek, sampai hari ini.

Kutatap kembali deretan huruf-huruf di ponsel CDMA-ku.

Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.

Aku tercekat. Ada yang tiba-tiba tercerabut dari ragaku. Bukan, bukan dari ragaku, tapi dari jiwaku. Setengah jiwaku seperti menguap, meninggalkan rongga-rongga kelabu yang sepi dan hampa. Dari kejauhan, kudengar senandung lagu mengalun dengan nada yang sumbang.


Picture from here

Wednesday 6 February 2008

Cahaya yang Padam



Lilin itu kian meredup
Basah oleh air mata
Dan tetes darah dari hati yang terluka
Sebelum akhirnya padam, tak bersisa

Karena cahaya tak lagi berarti
Ketika gulita menyelimuti hati
Hening, diam tak tergapai
Sendiri dalam pesta yang telah selesai

Yang ada hanya nafas
Yang ada hanya raga
Tanpa rasa
Tanpa jiwa
Tanpa cahaya

Picture from here

Sunday 21 October 2007

Barbie Dari Ayah


Aku sayang Ayahku. Sepanjang ingatanku, ia adalah seorang Ayah yang baik. Dalam kenanganku, ia selalu tertawa, jenaka penuh canda tawa, kata-katanya selalu membuatku merasa menjadi putri tercantik sejagat raya. Dan aku tahu, ia selalu berusaha keras memenuhi segala keinginanku.

Itulah sebabnya aku sangat tidak mengerti ketika ibu memutuskan untuk meninggalkannya. Pada suatu siang yang panas, ketika ayah tak ada, nenek terlelap tidur siang, tante Icha pergi ke kantor dan om Adi belum pulang kuliah, Ibu mengambil sebuah koper besar. Ia memasukkan seluruh bajunya dan bajuku yang tidak terlalu banyak kedalamnya. Juga semua mainanku, termasuk sebuah boneka Barbie hadiah dari ayah untuk ulang tahunku yang ke-7 hari itu. Sebuah taxi biru membawa aku dan Ibu serta koper besar itu meninggalkan rumah nenek. Aku dan Ibu memulai hidup baru berdua.

Tidak seperti Ibu yang kerap muram dan banyak mengatur, Ayah selalu gembira dan tak pernah marah. Ia selalu tertawa dengan mata yang merah dan mulut serta nafas yang beraroma aneh. Aku selalu dipeluknya dengan erat setiap kali ia pulang ke rumah. Meski pulang larut malam, ia kerap membangunkanku, mengajakku menari-nari sambil bernyanyi dengan suaranya yang sama sekali tak merdu. Kadang-kadang ia terjatuh selagi berusaha mengayunkan kaki seirama lagu yang disenandungkannya. Tapi ia tetap tertawa-tawa, lalu tertidur pulas di lantai atau sofa tempatnya terjatuh.

Kalau sudah seperti itu, Ibu hanya memandang dari kejauhan, lalu tanpa suara masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan nenek yang dengan tertaih-tatih akan masuk dan mengunci kamar. Hal yang sama dilakukan oleh tante Icha dan om Adi yang biasanya membanting pintu keras-keras.

Tak ada yang berani menyentuh Ayah. Tak ada yang mempedulikannya. Hanya aku yang tetap memeluknya, dan terkadang terlelap disampingnya sampai suara adzan dari surau di seberang rumah berkumandang dengan merdu.

Aku sangat menyayangi Ayah karena ia selalu bekerja keras. Ia sering tak pulang ke rumah, katanya bekerja lembur untuk mewujudkan kehidupan yang diimpikannya. Dengan gaya bicaranya yang lucu dan penuh semangat, ia bercerita tentang rumah yang sedang dibangunnya. Rumah itu megah berwarna putih bersih katanya. Aku, Ibu dan Ayah akan segera pindah ke rumah itu begitu Ayah mendapatkan cukup uang untuk menyelesaikan pembangunannya. Aku tak pernah diajak untuk melihatnya, tapi menurut Ayah, rumah itu mempunya halaman yang sangat luas. Ada kolam ikan dan air mancur yang selalu bergemericik di halaman belakang. Sementara itu, halaman depan diteduhi oleh deretan pohon cemara dan bunga berwarna warni. Oya, aku juga harus belajar berenang kata Ayah, karena sebuah kolam renang pribadi juga akan dibangun di samping rumah.

Aku diajaknya berangan-angan tentang kamar tidurku di rumah baru itu. Keempat dindingnya harus berwarna merah jambu, kataku. Aku juga ingin memiliki sebuah meja rias sendiri dimana dapat kutaruh sebuah boneka Barbie yang dapat berputar menari diatasnya. Sebuah meja belajar akan kutempatkan di sudut ruangan, lengkap dengan lampu belajar, deretan buku-buku cerita serta pensil berwarna-warni. Sebuah ruangan yang nyaman, bertirai putih transparan dan berpendingin udara tentunya. Wah, senangnya…… Dan Ayah berjanji akan membacakan cerita sebelum aku pergi tidur setiap malam.

Aku percaya Ayah bekerja keras dan menabung untuk itu semua, dan karena itulah Ayah tak pernah memberi Ibu uang belanja. Dalam tidurku yang belum lelap, sering aku mendengar mereka bertengkar mengenai hal itu, dan biasanya berakhir dengan ibu yang terisak dan ayah yang pergi meninggalkan rumah. Ayah akan kembali beberapa hari kemudian, dengan mata merah dan aroma yang aneh, lalu mengajakku menari-nari mengitari ruangan.

Tapi aku tetap menyayangi Ayah. Ia adalah sosok yang selalu menghiburku, yang memberiku angan dan harapan untuk semua mimpi-mimpiku. Dan tak ada yang lebih kuinginkan untuk hadiah ulang tahunku yang ke-7, tiga tahun yang lalu, selain sebuah boneka Barbie berambut pirang, bermata biru.

“Barbie Princess, Ayah. Yang bajunya panjang berwarna ungu. Juga ada tongkat, mahkota dan sisir untuk merapikan rambutnya,” rengekku malam itu.

Ayah tertawa, memelukku dengan erat, mencium rambutku dan berjanji akan membawakan boneka Barbie seperti yang kupinta.

Sepulang sekolah esok harinya, aku mendapati sebuah kado yang terbungkus rapi di atas tempat tidurku. Dari Ayah!, batinku girang. Kusobek bungkusnya dengan hati berdebar-debar, dan pelan kukeluarkan kotak berisi sebuah boneka Barbie, persis seperti yang kuinginkan. Aku segera memanggil ibu, dan menari-nari mengitari kamar bersama Barbie Princess-ku. Tapi ibu tidak membalas dengan senyum manisnya. Ia duduk di sudut tempat tidur dan menggamitku untuk duduk tenang di hadapannya.

“Tante Icha kehilangan hape-nya. Katanya semalam ditaruh di dekat televisi. Kamu lihat tidak?,” tanya Ibu dengan mata menyelidik.

Aku terdiam memandangi Barbie-ku yang tersenyum dengan matanya yang berbinar-binar.

“Kan semalam kamu dan Ayah yang paling akhir menonton televisi?” suara Ibu kian terdengar mendesak.

Aku membelai-belai rambut Barbie-ku. Ayah telah mewujudkan impianku! Akhirnya, aku memiliki sebuah boneka Barbie seperti teman-temanku yang lain.

Lalu Ibu menjentik daguku dan melihat langsung ke mataku.

“Kamu lihat tidak?” tanyanya lagi dengan suara yang lebih tegas.

Aku menarik nafas panjang. Kupegang erat Barbie-ku seolah seseorang akan segera merebutnya dari tanganku.

“Dikantongin sama Ayah,” kataku akhirnya.

Ibu langsung melirik boneka Barbie-ku. Lalu bergegas mengemas bajunya dan bajuku untuk kemudian meninggalkan rumah nenek di siang yang panas itu. Aku tahu, bukan sekali ini Ayah mengambil barang-barang nenek, tante Icha dan om Adi tanpa seijin mereka.

Kini umurku 10 tahun, dan aku tetap sayang Ayah meski sudah tiga tahun tak bertemu. Tidak seperti Ibu yang berhenti mencintai dan pergi meninggalkannya, aku tak pernah berhenti menyayangi Ayah meski orang menyebutnya sebagai penganggur, pemabuk, pemadat dan pencuri.


Picture from here

Monday 17 September 2007

DEG

Deg.

Mata lelaki itu begitu tajam menghujam, menembus sampai ke relung hati, membuat jantung si gadis belia berdegup kencang dengan tubuh gemetar. Ruang yang hiruk pikuk itu tiba-tiba saja seperti dalam keadaan diam dan sunyi. Semua menjadi tak penting, samar dan buram, kecuali dia yang tiba-tiba menjadi poros dari segala yang berputar.

Lelaki itu masih lekat menatapnya, meski terlihat ia berbincang dengan orang-orang di sekitarnya. Dan dalam angan si gadis belia, lelaki itu berdiri, berjalan pelan ke arahnya, lalu menggengam erat jari-jari tangannya

“Aku sudah lama menunggumu,” bisiknya sambil mengerdipkan mata. “Kita harus segera pulang.”

Lelaki itu lalu menuntunnya, membimbingnya dengan penuh kasih. Tubuhnya hangat dengan wangi lelaki, membuat si gadis belia ingin segera merebahkan diri dalam pelukan nyamannya.

Mereka bergandengan menapaki jalan kecil berkerikil, dengan ditemani desau angin dan bulan yang bulat sempurna. Suara jangkrik lemah terdengar, selebihnya adalah tarikan nafas dan langkah-langkah kaki yang menginjak tebaran daun-daun kering.

Lalu sampailah mereka di depan sebuah rumah mungil bercat hijau muda. Pagar kayunya berkerikit ketika dihela keluar. Si gadis belia terhenyak sesaat, ragu melangkah. Tapi tatapan lelaki itu bak sihir yang mendorong dua tungkainya mengayun masuk ke dalam.

Pelan ia melangkahkan kaki kanannya ke ruang di balik pintu utama, sebuah ruang yang temaran dengan sofa hijau tua yang terlihat nyaman. Bantal-bantal mungil berwarna kuning dan hijau pupus bertumpuk tak beraturan. Si gadis belia merasa sudah seharusnya ia membereskan bantal-bantal itu, menyusunnya dengan rapi sehingga cantik terlihat sebagai pemanis ruangan.

Lelaki itu berdiri menunggunya merapikan ruang tamu mungil itu tanpa henti menatapnya. “Kamu istri yang baik,” katanya kemudian.

Si gadis belia terkesiap, oh, aku telah menjadi istrinya? Ya, ya, tentu saja. Bukan kah ia baru saja menjalani upacara akad nikah yang khidmat beberapa waktu yang lalu? Ia mengenakan kebaya putih dengan bordir bunga di lengan dan dadanya. Rangkaian melati teruntai dari rambutnya yang tersanggul rapi, menebarkan wangi khas pengantin. Semua tamu tersenyum bahagia melihat mereka berdua. Ayahnya berpeci dengan jas abu-abu tua dan dasi kuning cerah, ibunya sumringah dengan kebaya merah darah. Pernikahan sederhana namun begitu sempurna.

Aku harus menjadi istri yang baik baginya, batin si gadis belia. Ia lalu melangkah ke ruang makan, membuatkan secangkir teh manis hangat.

“Sebentar aku siapkan makan malam ya,” katanya sembari menempatkan cangkir porselen berbunga-bunga biru di meja kecil di samping tempat si lelaki duduk.

Ia mengeluarkan sepasang piring dengan corak bunga biru yang sama dari lemari makan. Lalu pinggan-pinggan lauk, daging empal goreng, tumis sayuran, tempe goreng dan sop ayam. Ada sebuah mesin penghangat makanan di sudut ruangan. Ia tinggal memasukkan lauk-lauk itu ke dalamnya, menekan tombol, dan dua menit kemudian, lauk-lauk itu menjadi hangat seperti baru dimasak. Persis seperti apa yang pernah ia lihat di layar kaca baru-baru ini. Nasi yang siang tadi ditanaknya juga masih mengepul panas berkat wadah khusus yang ajaib itu.

Mereka menikmati makan malam berdua. Lelaki itu berceloteh tentang pekerjaannya hari itu, tentang jalanan yang macet dimana-mana dan tentang kegelisahannya ketika menunggunya tadi. Gadis belia mendengarkan semuanya dengan mata berbinar-binar.

“Aku akan membereskan meja dan piring kotor ini,” kata si lelaki beberapa saat setelah suapan terakhirnya. “Kau pergilah mandi dengan air hangat,” lanjutnya sambil mengerdipkan mata.

Gadis belia melangkah masuk ke kamar mandi dengan tubuh setengah telanjang. Ia sangat menyukai kamar mandi yang wangi ini, dengan dinding berwarna merah jambu, kaca yang lebar dan lampu yang terang. Diraihnya sabun dengan harum mawar, lalu dibasuhnya seluruh tubuhnya dengan busa putih yang lembut.

Saat kembali ke kamar dalam balutan handuk putih yang tebal, lelaki itu sudah menunggunya di tempat tidur. Matanya hangat menggoda. Lelaki itu lalu menciumi rambut dan lehernya sebelum akhirnya mereka bergumul dalam pertarungan yang sarat desah berkepanjangan. Mereka tidur berpelukan sampai kokok ayam ramai bersautan.dan mentari pagi menyembul keluar dengan warna jingganya.

Gadis belia segera bangun, menyeka mukanya, lalu membuka lebar lemari pakaian berpintu ganda. Kemeja mana yang akan aku siapkan untuknya hari ini? Pilihannya jatuh pada kemeja biru muda bergaris putih yang samar. Lalu diraihnya sepotong dasi polos biru tua, senada dengan pantalon yang sudah terseterika rapi.

Selesai menyiapkan baju untuk si lelaki, ia bergegas ke dapur, menyeduh secangkir teh manis panas, mengoles setangkup roti dengan selai kacang dan mendadar telur dengan parutan keju. Semua rapi tertata di meja ketika lelaki itu keluar kamar dengan pakaian yang disiapkannya tadi. Wangi after shave cologne nya begitu menyegarkan, membuat si gadis belia tersipu mengingat pergumulan yang menggairahkan malam tadi. Lelaki itu menikmati sarapan paginya dengan tenang sembari membuka-buka lembar surat kabar terbitan pagi itu.

Kemudian ia mengambil kunci mobil, menyalakan mesinnya, lalu kembali untuk mengecup kening si gadis belia.

“Aku ke kantor dulu ya. Masakkan aku ayam goreng dan sayur bayam dengan jagung yang manis untuk nanti malam…,” katanya sambil mengerdipkan mata.

Si gadis belia mengangguk dan tersenyum manis, lalu melambaikan tangan saat lelaki itu beranjak pergi dengan sedan berwarna perak mengkilap.

Tapi tidak, pada kenyataannya lelaki yang tadi menatapnya dengan tajam itu tak pergi dengan sedan berwarna perak mengkilap. Pada kenyataannya. lelaki itu pergi dengan deru motor yang memekakkan telinga, meninggalkan asap knalpot yang menyesakkan dada.

“Ayo neng, beres-beres….. Kita tutup sebentar lagi,” suara serak lelaki separuh baya membuyarkan angannya.

Deg.

Debar jantung gadis belia yang tadi berdegup kencang perlahan kembali beraturan. Ia menarik napas panjang. Hari ini hanyalah sepenggal hari biasa. Ia harus segera menyapu lantai, membersihkan meja dan mencuci gelas-gelas kotor yang ditinggalkan pelanggannya, untuk kemudian melayani birahi si lelaki paruh baya, pemilik warung kopi pinggir jalan tempatnya menyambung hidup di gemerlap kota metropolitan.


Picture from here

Monday 10 September 2007

Dua Samudera


Kita adalah dua samudera
Dengan gelombang pasang tak tentu arah
Yang memutar balikkan timur dan barat
Dalam mencari hangatnya pasir tak berkarang

Kita adalah bulan dan matahari
Yang saling memberi dan menyinari
Mengulurkan pelangi dan mega-mega mimpi
Menebarkan wangi di lembah bunga berwarna warni

Tapi itu semua semu belaka
Karena peluit panjang selalu nyaring berbunyi
Dan lonceng berdentang membuyarkan angan
Ingatkan kita tuk kembali berlari

Kita adalah dua samudera
Dengan badai hujan dan guruh menggelegar
Tak lelah menggapai hangatnya pasir tak berkarang
Tak menyerah meski tau itu tiada
.
.
Picture from here

Wednesday 29 August 2007

Akhir


Buku dan secangkir kopi
Adalah temanku kala menunggumu
Diantara gegas langkah beragam manusia
Dengan berbagai kisah di balik senyum dan tawanya

Adakah aku masih menunggu mu kini?
Sementara kepulan panas kopi sudah mereda
Dan lembar-lembar buku itu sudah mulai terkoyak
Lelah…

Karena kita adalah dua kutub yang berbeda
Dengan jalan hidup yang tak perlu bersinggungan
Kecuali untuk berbagi canda dan cerita
Dan bukan gemuruh rasa yang kadang datangkan amarah dan air mata

Jadi biarlah angin membawa kita
Ke padang luas yang lengas dan tanpa batas
Sampai ia kembali menghembuskan
Lembar-lembar baru yang lebih berwarna

Peluk cium untukmu
Sahabatku, selalu…


Picture by Eva Muchtar