Monday, 17 September 2007

DEG

Deg.

Mata lelaki itu begitu tajam menghujam, menembus sampai ke relung hati, membuat jantung si gadis belia berdegup kencang dengan tubuh gemetar. Ruang yang hiruk pikuk itu tiba-tiba saja seperti dalam keadaan diam dan sunyi. Semua menjadi tak penting, samar dan buram, kecuali dia yang tiba-tiba menjadi poros dari segala yang berputar.

Lelaki itu masih lekat menatapnya, meski terlihat ia berbincang dengan orang-orang di sekitarnya. Dan dalam angan si gadis belia, lelaki itu berdiri, berjalan pelan ke arahnya, lalu menggengam erat jari-jari tangannya

“Aku sudah lama menunggumu,” bisiknya sambil mengerdipkan mata. “Kita harus segera pulang.”

Lelaki itu lalu menuntunnya, membimbingnya dengan penuh kasih. Tubuhnya hangat dengan wangi lelaki, membuat si gadis belia ingin segera merebahkan diri dalam pelukan nyamannya.

Mereka bergandengan menapaki jalan kecil berkerikil, dengan ditemani desau angin dan bulan yang bulat sempurna. Suara jangkrik lemah terdengar, selebihnya adalah tarikan nafas dan langkah-langkah kaki yang menginjak tebaran daun-daun kering.

Lalu sampailah mereka di depan sebuah rumah mungil bercat hijau muda. Pagar kayunya berkerikit ketika dihela keluar. Si gadis belia terhenyak sesaat, ragu melangkah. Tapi tatapan lelaki itu bak sihir yang mendorong dua tungkainya mengayun masuk ke dalam.

Pelan ia melangkahkan kaki kanannya ke ruang di balik pintu utama, sebuah ruang yang temaran dengan sofa hijau tua yang terlihat nyaman. Bantal-bantal mungil berwarna kuning dan hijau pupus bertumpuk tak beraturan. Si gadis belia merasa sudah seharusnya ia membereskan bantal-bantal itu, menyusunnya dengan rapi sehingga cantik terlihat sebagai pemanis ruangan.

Lelaki itu berdiri menunggunya merapikan ruang tamu mungil itu tanpa henti menatapnya. “Kamu istri yang baik,” katanya kemudian.

Si gadis belia terkesiap, oh, aku telah menjadi istrinya? Ya, ya, tentu saja. Bukan kah ia baru saja menjalani upacara akad nikah yang khidmat beberapa waktu yang lalu? Ia mengenakan kebaya putih dengan bordir bunga di lengan dan dadanya. Rangkaian melati teruntai dari rambutnya yang tersanggul rapi, menebarkan wangi khas pengantin. Semua tamu tersenyum bahagia melihat mereka berdua. Ayahnya berpeci dengan jas abu-abu tua dan dasi kuning cerah, ibunya sumringah dengan kebaya merah darah. Pernikahan sederhana namun begitu sempurna.

Aku harus menjadi istri yang baik baginya, batin si gadis belia. Ia lalu melangkah ke ruang makan, membuatkan secangkir teh manis hangat.

“Sebentar aku siapkan makan malam ya,” katanya sembari menempatkan cangkir porselen berbunga-bunga biru di meja kecil di samping tempat si lelaki duduk.

Ia mengeluarkan sepasang piring dengan corak bunga biru yang sama dari lemari makan. Lalu pinggan-pinggan lauk, daging empal goreng, tumis sayuran, tempe goreng dan sop ayam. Ada sebuah mesin penghangat makanan di sudut ruangan. Ia tinggal memasukkan lauk-lauk itu ke dalamnya, menekan tombol, dan dua menit kemudian, lauk-lauk itu menjadi hangat seperti baru dimasak. Persis seperti apa yang pernah ia lihat di layar kaca baru-baru ini. Nasi yang siang tadi ditanaknya juga masih mengepul panas berkat wadah khusus yang ajaib itu.

Mereka menikmati makan malam berdua. Lelaki itu berceloteh tentang pekerjaannya hari itu, tentang jalanan yang macet dimana-mana dan tentang kegelisahannya ketika menunggunya tadi. Gadis belia mendengarkan semuanya dengan mata berbinar-binar.

“Aku akan membereskan meja dan piring kotor ini,” kata si lelaki beberapa saat setelah suapan terakhirnya. “Kau pergilah mandi dengan air hangat,” lanjutnya sambil mengerdipkan mata.

Gadis belia melangkah masuk ke kamar mandi dengan tubuh setengah telanjang. Ia sangat menyukai kamar mandi yang wangi ini, dengan dinding berwarna merah jambu, kaca yang lebar dan lampu yang terang. Diraihnya sabun dengan harum mawar, lalu dibasuhnya seluruh tubuhnya dengan busa putih yang lembut.

Saat kembali ke kamar dalam balutan handuk putih yang tebal, lelaki itu sudah menunggunya di tempat tidur. Matanya hangat menggoda. Lelaki itu lalu menciumi rambut dan lehernya sebelum akhirnya mereka bergumul dalam pertarungan yang sarat desah berkepanjangan. Mereka tidur berpelukan sampai kokok ayam ramai bersautan.dan mentari pagi menyembul keluar dengan warna jingganya.

Gadis belia segera bangun, menyeka mukanya, lalu membuka lebar lemari pakaian berpintu ganda. Kemeja mana yang akan aku siapkan untuknya hari ini? Pilihannya jatuh pada kemeja biru muda bergaris putih yang samar. Lalu diraihnya sepotong dasi polos biru tua, senada dengan pantalon yang sudah terseterika rapi.

Selesai menyiapkan baju untuk si lelaki, ia bergegas ke dapur, menyeduh secangkir teh manis panas, mengoles setangkup roti dengan selai kacang dan mendadar telur dengan parutan keju. Semua rapi tertata di meja ketika lelaki itu keluar kamar dengan pakaian yang disiapkannya tadi. Wangi after shave cologne nya begitu menyegarkan, membuat si gadis belia tersipu mengingat pergumulan yang menggairahkan malam tadi. Lelaki itu menikmati sarapan paginya dengan tenang sembari membuka-buka lembar surat kabar terbitan pagi itu.

Kemudian ia mengambil kunci mobil, menyalakan mesinnya, lalu kembali untuk mengecup kening si gadis belia.

“Aku ke kantor dulu ya. Masakkan aku ayam goreng dan sayur bayam dengan jagung yang manis untuk nanti malam…,” katanya sambil mengerdipkan mata.

Si gadis belia mengangguk dan tersenyum manis, lalu melambaikan tangan saat lelaki itu beranjak pergi dengan sedan berwarna perak mengkilap.

Tapi tidak, pada kenyataannya lelaki yang tadi menatapnya dengan tajam itu tak pergi dengan sedan berwarna perak mengkilap. Pada kenyataannya. lelaki itu pergi dengan deru motor yang memekakkan telinga, meninggalkan asap knalpot yang menyesakkan dada.

“Ayo neng, beres-beres….. Kita tutup sebentar lagi,” suara serak lelaki separuh baya membuyarkan angannya.

Deg.

Debar jantung gadis belia yang tadi berdegup kencang perlahan kembali beraturan. Ia menarik napas panjang. Hari ini hanyalah sepenggal hari biasa. Ia harus segera menyapu lantai, membersihkan meja dan mencuci gelas-gelas kotor yang ditinggalkan pelanggannya, untuk kemudian melayani birahi si lelaki paruh baya, pemilik warung kopi pinggir jalan tempatnya menyambung hidup di gemerlap kota metropolitan.


Picture from here

2 comments:

Anonymous said...

wah, endingnya dahsyat. ckckck ...

Luna said...

Hmmm, tapi bukan sesuatu yang ga mungkin terjadi di kehidupan nyata kan ndoro?