Saturday 5 July 2008

Soul Mate

Ponsel CDMA ku berkedip-kedip. Sebuah pesan pendek, dari dia. Sudah seminggu lebih ini aku dan dia tidak bertukar pesan pendek. Sebuah hal di luar kebiasaan. Sengaja aku tak menghubunginya, karena aku yakin, ia pasti akan menghubungiku lebih dahulu. Dan aku benar.

Kubaca deretan huruf di layar ponsel yang tak terlalu lebar itu.

Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.

Aku terkesiap. Ha? Maksudnya?

Dia selalu menganggapku sebagai soul mate-nya. Matanya selalu berpendar-pendar saat menerangkan panjang lebar alasannya menganggapku sebagai soul mate nya. Lalu ia akan terdiam beberapa lama begitu sadar aku menatapnya dengan bibir tersungging senyum, susah payah menahan tawa. Aku tau ia sedih dan kecewa karena aku selalu menganggap masalah soul mate ini sebagai urusan anak smu yang percaya bahwa cinta sejati itu ada.

“Kenapa sih penting banget masalah soul mate ini, Ri?” tanyaku suatu waktu. Bukan karena aku benar-benar ingin tau alasannya, tetapi lebih karena guilty feeling telah membuatnya merasa disepelekan.

Ia menatapku seolah aku bertanya ada berapa jari tangan yang dimiliki oleh seorang manusia bertubuh sempurna.

“Kalau sudah kutemukan, tentu aku akan berhenti mencari. Dan aku akan selalu bersamanya sampai akhir nafasku”. Gaya bicaranya menggemaskan. Persis seperti ibu guru fisika yang mencoba menerangkan hukum phytagoras kepada murid laki-lakinya yang bebal.

“Jadi apa sih yang kamu maksud dengan soul mate itu,” tanyaku iseng. Aku tau pertanyaan ini bisa membuka diskusi berjam-berjam. Atau mungkin bukan diskusi, lebih tepat monolog dari bibir ranumnya itu.

Tapi ternyata malam itu ia tidak terlalu bersemangat untuk ber-monolog. Perempuan bermata indah itu hanya berkata singkat, “Belahan jiwa, Raka.” Lalu memelukku dengan erat, seakan sebuah pesawat telah siap di landasan untuk membawaku ke daratan Rusia yang dingin dan beku.

Aku membelai rambutnya yang kecoklatan. Nyaman sekali rasanya bisa merengkuhnya dalam pelukanku. Entah berapa lama aku dan dia berdiam dalam posisi seperti itu, sampai suaranya memecahkan keheningan.

“Ini salah satu bukti bahwa kita soulmate, Ka. Kita bisa merasa nyaman bersentuhan dalam waktu yang lama tanpa merasa terbebani untuk bicara”.

“Hahaha, tapi kenapa kamu bicara juga….,” tak tahan aku tertawa dan melepaskan pelukanku. Ia bersungut-sungut. Kelihatan sekali kekesalan hatinya dibalik matanya yang redup dan sayu.

Aku kembali merasa bersalah dan ingin segera kembali merengkuhnya untuk merasakan kenyamanan tadi. Tapi, ah, rasanya lebih seru kalau aku kembali menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol itu.

“Jadi coba terangkan kepadaku sekali lagi, kenapa kau menganggap aku sebagai soul mate-mu.”

Ia merapikan rambutnya, mengubah posisi duduknya dan menatapku dengan matanya yang bening. Ia seperti tengah menghadap dosen favorit yang baik hati, tapi telah dua kali memberinya nilai F.

“Karena kamu selalu tiba-tiba muncul setiap kali aku membutuhkanmu, kamu selalu mengatakan sesuatu yang ingin aku tanyakan, bahkan pesan pendek mu selalu muncul tepat saat aku merogoh ponselku untuk mengecek apakah kamu sudah menjawab pesanku. Kamu juga sering mengalami itu kan?”

Aku setengah mati menahan agar senyum di bibirku tidak mengembang.

“Ah, itu kan kebetulan….,” kataku ringan.

“Kebetulan tidak datang berkali-kali, Raka,” jawabnya melankolis. ”Aku selalu tau apa yang kamu inginkan dan kamu selalu mengerti apa yang aku rasakan.”

“Kecuali masalah soul mate ini, hahaha…..” potongku sambil tergelak.

Ia tercenung. Ingin sekali aku kembali merengkuhnya, membelainya, menciuminya. Tapi aku tak mau terbawa ke suasana yang sentimentil. Terlalu berbahaya. Pagar itu harus erat kujaga.

“Sudah lah Ri. Apa sih yang kau harapkan dari ku? We are having fun kan? It’s just a game. Sebentar lagi juga kamu akan bosan padaku, aku juga masih ingin bertualang dengan perempuan lain. Let’s make the best of what we have now.”

Ia menarik nafas panjang. Ia tau aku tak pernah mau bicara tentang cinta dan ikatan. Ia tau aku adalah elang jantan yang ingin bebas terbang tinggi dan menukik untuk memangsa, kemudian kembali ke langit biru tanpa menoleh sedikitpun.

Lalu seperti biasa, aku dan dia melewati malam itu dengan desahan panjang dan pagutan yang tak lepas-lepas. Dua raga melebur menjadi satu. Dua jiwa bergejolak dengan jalan pikirannya masing-masing. Bagiku, ini adalah sebuah permainan yang penuh kenikmatan. Baginya? Aku tak mau tahu. Aku tak ingin tahu. Sampai ia berkemas merapikan diri ketika suara penjual roti dan tukang sayur mulai ramai menjajakan dagangannya.

“Aku tidak bisa terus seperti ini, Ka”.

Aku tak menjawab. Kuraih Marlboro putihku dan segera kuhembuskan kepulan-kepulan asap putih. Aku benci situasi seperti ini. Aku tak ingin terperangkap. Aku tak mau terbawa suasana.

“Terserah,” jawabku kemudian tanpa menatapnya.

Lalu ia pergi, dan tak lagi mengirimiku pesan-pesan pendek, sampai hari ini.

Kutatap kembali deretan huruf-huruf di ponsel CDMA-ku.

Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.

Aku tercekat. Ada yang tiba-tiba tercerabut dari ragaku. Bukan, bukan dari ragaku, tapi dari jiwaku. Setengah jiwaku seperti menguap, meninggalkan rongga-rongga kelabu yang sepi dan hampa. Dari kejauhan, kudengar senandung lagu mengalun dengan nada yang sumbang.


Picture from here

No comments: