Seorang perempuan sepuh duduk termangu di teras sebuah rumah yang asri. Sebuah rumah di pojokan jalan yang ramai, tapi teduh oleh berbagai tanaman merambat, pohon mangga yang mulai menampakkan pucuk-pucuk buahnya, serta segerombolan anggrek bulan yang cantik.
Tujuh hari lagi, ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke 70. Ah, bukan merayakan, mungkin lebih tepat kalau dikatakan mensyukuri kehidupan yang telah ia jalani. 70 tahun bukanlah waktu yang sekejap. Berapa juta kali ia mengedipkan mata dalam 70 tahun? Berapa ribu sendok nasi telah ia suapkan ke dalam mulutnya? Berapa kali ia mengalami mimpi buruk yang membangunkannya dari tidur? Dan perempuan itu pun merenung. Apa yang telah aku lakukan selama 70 tahun ini selain mengerjapkan mataku berjuta kali?
Tiga orang anak telah lahir dari rahimnya. Si sulung Tama, tumpuan harapan dan kejora hatinya. Senyumnya mengembang kala mengingat betapa berbungkah hatinya mendengar nama puteranya disebut lengkap dalam upacara wisuda sarjana. Pratama Putranto, bayi mungil pertamanya, telah menjadi seorang insinyur pertanian hanya dalam waktu empat tahun kuliah. Selesai sudah tugas utamanya memberikan bekal ilmu dan pendidikan. Dan betapa haru hatinya ketika Tama menyerahkan gaji pertamanya kepadanya
“Bu, hari ini Tama gajian. Gaji Tama pertama Bu. Ini hampir semua untuk ibu, Tama hanya ambil untuk ongkos ke kantor ya...”.
Ah, betapa baik anak sulungnya itu. Anak tertua yang selalu mencoba menjadi contoh bagi adik-adiknya. Sumber inspirasi dan kebanggaan keluarga. Ia pun memberinya menantu yang baik hati dan dua cucu laki-laki yang kini beranjak dewasa. Tama berhasil membina keluarga yang nyaris sempurna. Sampai musibah itu datang. Tama terserang stroke saat mencapai usianya yang paling produktif. Dan dunia pun berputar berbalik arah.
Mata perempuan sepuh itu berkaca-kaca mengenang puteranya yang telah lebih dari tiga tahun ini tak berdaya di kursi roda.
Lalu ia mengalihkan ingatannya kepada Dwiani Putrianti, putrinya yang cantik lincah namun juga memiliki hati yang terlalu keras. Ini yang selalu membuatnya bersitegang, berbeda pendapat, bersilat lidah dengannya. Sampai suatu siang yang panas, putri keduanya itu menyapa dan duduk dihadapannya. Mukanya pucat. Yah, ia memang sedang tidak sehat, pikirnya saat itu. Tapi apa yang keluar dari mulut perempuan muda yang dulu selalu ditimangnya itu membuat matanya nanar.
“Bu, Dwiani tadi ke apotik, beli test pack.”
Hening. Kemudian perempuan muda itu mendangakkan dagu dan memandang langsung ke mata ibunya. “Hasilnya positif...,” ucapnya dengan artikulasi yang sempurna.
“Maksudnya?” tanya si ibu, meski ia tau betul apa yang coba disampaikan putrinya itu.
“Ya artinya saya hamil, Bu. Dan saya sudah memutuskan untuk melahirkan anak ini, meski ayahnya tidak mengakui”
“Ibu tidak mengerti…”
Bukan, sebenarnya bukan ia tidak mengerti apa yang dikatakan putrinya. Ia hanya ingin membeli waktu sampai sesuatu membangunkannya dari mimpi buruk. Ini hanya mimpi buruk kan? Mimpi paling buruk seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya, apapun yang pernah terjadi diantara mereka.
Satu minggu setelah pembicaraan di siang yang panas itu, Dwiani meninggalkan rumah. Perempuan sepuh tak melarangnya. Putrinya telah dewasa, biarlah ia belajar dari kesalahan yang dibuatnya. Harga yang harus ditebus untuk tidak mendengarkan nasehat-nasehat ibunya, demikian pikirnya saat itu.
Ia masih memiliki Tristan. Tristan Anggarda Putera, si bungsu yang tak sempat mengenyam kasih sayang sang ayah. Pemberian paling berharga dari suaminya yang menghadap Yang Maha Kuasa hanya beberapa bulan setelah dua kaki mungil Tristan mulai bisa menopang tubuh gempalnya.
Tristan adalah satu-satunya harapannya kini. Kelihatannya ia memiliki kedudukan yang cukup baik di kantornya, meski bukan seorang sarjana seperti kakak sulungnya. Dan iapun tersenyum dan menyanjung kala Tristan dengan bangga mengatakan bahwa iklan sabun, shampoo dan susu bayi yang mereka tonton di televisi itu adalah hasil karyanya.
Dua minggu yang lalu, Ibu sepuh semakin merasa tentram, saat Tristan membawa pulang sebuah mobil sedan baru.
“Penghargaan dari kantor Bu, karena Tristan telah berhasil membawa beberapa perusahaan besar menjadi klien,” jelasnya.
“Alhamdullilah Tris. Kelihatannya kedudukanmu di kantor semakin mapan,”
“Ya, mudah-mudahan, Bu,” jawab Tristan sambil melempar kaos kaki
Ibu sepuh mengambilkannya segelas air dingin.
“Jadi apa lagi yang kamu tunggu Tris, umurmu sudah kepala 3 kan? Ibu ingin melihatmu berkeluarga. Ibu kan sudah tua, kalau ibu sudah tiada, siapa nanti yang mengurusimu, memasak untukmu?”
Tristan memandang ibunya. Ah, ibu, aku akan baik-baik saja Bu. Hidup selama empat tahun di Australia telah mengajariku untuk mandiri. Kalaupun aku memerlukan pasangan, itu bukan untuk memasak dan mengurusiku.
“Kamu punya pacar kan? Ibu sering lho mendengar kamu telepon pacarmu dengan suara yang mesra” goda sang ibu. Tristan hanya menghela napas panjang.
“Jadi kapan mau dibawa ke rumah? Ibu janji akan menerimanya dengan hangat”
“Ibu serius? Ibu akan menerima dia apa adanya?”
“Yang penting kamu benar-benar menyayanginya dan dia bisa membuatmu bahagia,” ibu sepuh berujar mantap.
Dan sore ini, ibu sepuh duduk di teras rumahnya yang asri, menunggu si bungsu yang akan datang memperkenalkan pasangannya. Ah, inilah saat yang kutunggu-tunggu, saat yang selalu ditunggu-tunggu seorang ibu saat putranya telah dewasa. Akhirnya, bungsuku telah menemukan pelabuhan hatinya. Aku akan dapat pergi dengan tenang pada saatnya nanti.
Nah, itu dia suara mobilnya datang.
Tristan terlihat cerah mengenakan jeans dan kaos polo berwarna ungu muda. Di belakangnya terlihat seorang lelaki muda dengan jeans dan kemeja kotak-kotak biru. Ibu sepuh melongokkan wajahnya, mana dia calon menantuku? Tidak jadi datang kah? Lelaki muda ini barangkali adiknya?
“Bu, ini Tito, yang ibu sangat ingin kenal selama ini”
Dari sudut matanya, ibu sepuh melihat tangan Tristan yang kekar melingkar di pinggang lelaki muda itu. Mesra.
Dan dalam ruang yang seakan mulai berputar, perempuan sepuh kembali berhitung, berapa juta kali ia mengedipkan mata dalam 70 tahun ini? Berapa ribu sendok nasi telah ia suapkan ke dalam mulutnya? Dan kini, berapa buah mimpi buruk yang pernah singgah dalam hidupnya?
Images from here and here
Saturday, 21 July 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Generation Gap, ya ... ayo, ayo, sebarkan ke pembaca yang lebih beragam :)
satu lagi tulisan yang indah...
terima kasih, Luna
Post a Comment