Rindu itu luar biasa indahnya. Indah, meski ia tajam mengoyak jantung yang tengah berdegup dengan lembut. Dan saat rindu itu semakin memagut, mengiris-iris hati yang berubah warna menjadi ungu, kita seperti kehilangan oksigen. Semakin kita mencarinya, semakin kita tergagap dan jatuh ke dalam ruang hampa udara.
Dan itu yang aku rasakan kini.
Rindu itu tiba-tiba saja datang lewat aroma dari sebotol kecil EDT keluaran The Body Shop. Aroma mawarnya membawaku kembali ke pertemuan kita di sepenggal senja, di bulan September setahun silam, di sebuah kedai kopi dengan sofa-sofanya yang empuk berwarna kecoklatan. Aku menunggumu dengan sebuah buku dan secangkir peppermint tea hangat. Lalu kamu datang dengan nafas tersengal karena waktu di tanganmu menunjukkan bahwa kamu telah setengah jam terlambat.
“Sori…, udah lama ya…?” tanyamu khawatir.
Aku hanya tersenyum, menatapmu sambil mengaduk minumanku yang tak lagi hangat, lalu meneguknya sedikit tanpa melepas tatapanku dari matamu. Aku tersanjung melihatmu begitu khawatir.
“Kemana dulu sih…?” tanyaku setengah merajuk, seolah tak peduli dengan tatapan matamu yang berharap pengertianku.
“Aku tadi beli ini untuk kamu. Mudah-mudahan suka.”
Sebotol kecil Cassis Rose EDT berwarna merah jambu. What a surprise! Aku tidak sedang berulang tahun dan aku tidak sedang merayakan apapun. Belum ada seorang pun yang tiba-tiba memberiku sesuatu tanpa alasan yang jelas. Tapi kamu melakukannya seolah itu adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Kamu malahan mengajakku berdiskusi tentang strategi pemasaran The Body Shop dan Anita Roddick dengan ide-idenya yang cemerlang. Dan seperti biasa, diskusi itu tak berujung pada kesepakatan. Untungnya, kita sependapat bahwa wangi yang merebak dari botol kecil itu sungguh sangat menentramkan hati. Aromanya menawarkan kenyamanan, membawa kita ke sebuah rumah kaca yang penuh dengan mawar berwarna-warni dan hamparan rumput hijau serta pucuk-pucuk cemara di sekelilingnya.
Berhari-hari setelahnya – bahkan sampai hari ini – aku selalu bertanya-tanya, apakah aku boleh merasa tersanjung dengan pemberianmu, seperti aku tersanjung melihat matamu yang penuh kekhawatiran? Apakah wangi mawar itu merupakan sebuah ungkapan yang tak dapat kau utarakan padaku? Tapi, ungkapan apa? Aku tak ingin berandai-andai, aku tak ingin tersanjung tinggi untuk kemudian jatuh di hamparan karang yang memerihkan.
Aku hanya tau bahwa aku selalu merindukanmu. Aku rindu percakapan kita yang tak selalu mengalir. Aku rindu debat kusir kita yang tak pernah berujung dengan kesepakatan. Aku rindu kesalahpahaman kita yang menggelikan. Aku bahkan rindu marahmu.
Rindu ini membuatku ingin berlari di padang rumput yang hijau dengan bunga lantana berwarna kuning, putih dan jingga. Aku ingin terbang dan menghempaskan tubuhku yang letih di awan putih yang bergerak pelan terhembus angin. Aku ingin berkelana tanpa tau apakah bisa kembali, mengarungi samudera dengan ombak yang mengangkatku setinggi elang yang mengepakkan sayap dengan keangkuhannya. Aku ingin itu semua seperti aku ingin kembali berada disisimua sembari menatap kedua bola matamu. Keinginan yang kutau tak mungkin kudapatkan.
Seperti pertemuan pertama kita yang biasa-biasa saja, pertemuan terakhir kita juga tak terasa istimewa. Kita bertemu di sebuah kedai makan yang menyajikan nasi hainan dan bebek panggang kegemaranmu. Kita bicara panjang lebar, utara selatan, politik, infotainment, strategi pemasaran, sampai ke masalah sistim pendidikan saat iniI. Diskusi yang menyenangkan, yang selalu memperkaya jiwa, meski sekali lagi, tak ada kesepakatan. Mungkin itulah yang menjadikanmu candu bagiku. Kamu selalu mengisi gelasku yang separuh kosong menjadi penuh kembali. Kamu memberikan semburat jingga pada langit yang putih dan kelabu. Kamu meneteskan embun di padang kerontang yang minim oksigen.
Dan dalam pertemuan siang itu, tepat saat aku menyendokkan suapan terakhirku, kamu dengan santainya mengatakan bahwa dalam dua hari ini kamu akan berangkat ke negeri kangguru untuk meneruskan menimba ilmu.
Aku terhenyak, meneguk teh hijauku yang mengepul panas, lalu menyenderkan bahuku yang terasa lunglai. Pandanganku kabur, telapak tanganku dingin dan lembap, jantungku berdegup kencang bak beduk yang bertalu-talu saat Lebaran menjelang.
Tak ada apa-apa lagi setelah kepergianmu. Mungkin pada akhirnya kita sepakat bahwa some things are better left unsaid and some mysteries are better left unsolved.
Rindu itu luar biasa indahnya, meski gelasku kembali separuh kosong, langitku menjadi kelabu dan hatiku berubah ungu. Rindu itu tetap luar biasa indah.
.
.
Picture from here.
Thursday, 28 August 2008
Saturday, 5 July 2008
Soul Mate
Ponsel CDMA ku berkedip-kedip. Sebuah pesan pendek, dari dia. Sudah seminggu lebih ini aku dan dia tidak bertukar pesan pendek. Sebuah hal di luar kebiasaan. Sengaja aku tak menghubunginya, karena aku yakin, ia pasti akan menghubungiku lebih dahulu. Dan aku benar.
Kubaca deretan huruf di layar ponsel yang tak terlalu lebar itu.
Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.
Aku terkesiap. Ha? Maksudnya?
Dia selalu menganggapku sebagai soul mate-nya. Matanya selalu berpendar-pendar saat menerangkan panjang lebar alasannya menganggapku sebagai soul mate nya. Lalu ia akan terdiam beberapa lama begitu sadar aku menatapnya dengan bibir tersungging senyum, susah payah menahan tawa. Aku tau ia sedih dan kecewa karena aku selalu menganggap masalah soul mate ini sebagai urusan anak smu yang percaya bahwa cinta sejati itu ada.
“Kenapa sih penting banget masalah soul mate ini, Ri?” tanyaku suatu waktu. Bukan karena aku benar-benar ingin tau alasannya, tetapi lebih karena guilty feeling telah membuatnya merasa disepelekan.
Ia menatapku seolah aku bertanya ada berapa jari tangan yang dimiliki oleh seorang manusia bertubuh sempurna.
“Kalau sudah kutemukan, tentu aku akan berhenti mencari. Dan aku akan selalu bersamanya sampai akhir nafasku”. Gaya bicaranya menggemaskan. Persis seperti ibu guru fisika yang mencoba menerangkan hukum phytagoras kepada murid laki-lakinya yang bebal.
“Jadi apa sih yang kamu maksud dengan soul mate itu,” tanyaku iseng. Aku tau pertanyaan ini bisa membuka diskusi berjam-berjam. Atau mungkin bukan diskusi, lebih tepat monolog dari bibir ranumnya itu.
Tapi ternyata malam itu ia tidak terlalu bersemangat untuk ber-monolog. Perempuan bermata indah itu hanya berkata singkat, “Belahan jiwa, Raka.” Lalu memelukku dengan erat, seakan sebuah pesawat telah siap di landasan untuk membawaku ke daratan Rusia yang dingin dan beku.
Aku membelai rambutnya yang kecoklatan. Nyaman sekali rasanya bisa merengkuhnya dalam pelukanku. Entah berapa lama aku dan dia berdiam dalam posisi seperti itu, sampai suaranya memecahkan keheningan.
“Ini salah satu bukti bahwa kita soulmate, Ka. Kita bisa merasa nyaman bersentuhan dalam waktu yang lama tanpa merasa terbebani untuk bicara”.
“Hahaha, tapi kenapa kamu bicara juga….,” tak tahan aku tertawa dan melepaskan pelukanku. Ia bersungut-sungut. Kelihatan sekali kekesalan hatinya dibalik matanya yang redup dan sayu.
Aku kembali merasa bersalah dan ingin segera kembali merengkuhnya untuk merasakan kenyamanan tadi. Tapi, ah, rasanya lebih seru kalau aku kembali menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol itu.
“Jadi coba terangkan kepadaku sekali lagi, kenapa kau menganggap aku sebagai soul mate-mu.”
Ia merapikan rambutnya, mengubah posisi duduknya dan menatapku dengan matanya yang bening. Ia seperti tengah menghadap dosen favorit yang baik hati, tapi telah dua kali memberinya nilai F.
“Karena kamu selalu tiba-tiba muncul setiap kali aku membutuhkanmu, kamu selalu mengatakan sesuatu yang ingin aku tanyakan, bahkan pesan pendek mu selalu muncul tepat saat aku merogoh ponselku untuk mengecek apakah kamu sudah menjawab pesanku. Kamu juga sering mengalami itu kan?”
Aku setengah mati menahan agar senyum di bibirku tidak mengembang.
“Ah, itu kan kebetulan….,” kataku ringan.
“Kebetulan tidak datang berkali-kali, Raka,” jawabnya melankolis. ”Aku selalu tau apa yang kamu inginkan dan kamu selalu mengerti apa yang aku rasakan.”
“Kecuali masalah soul mate ini, hahaha…..” potongku sambil tergelak.
Ia tercenung. Ingin sekali aku kembali merengkuhnya, membelainya, menciuminya. Tapi aku tak mau terbawa ke suasana yang sentimentil. Terlalu berbahaya. Pagar itu harus erat kujaga.
“Sudah lah Ri. Apa sih yang kau harapkan dari ku? We are having fun kan? It’s just a game. Sebentar lagi juga kamu akan bosan padaku, aku juga masih ingin bertualang dengan perempuan lain. Let’s make the best of what we have now.”
Ia menarik nafas panjang. Ia tau aku tak pernah mau bicara tentang cinta dan ikatan. Ia tau aku adalah elang jantan yang ingin bebas terbang tinggi dan menukik untuk memangsa, kemudian kembali ke langit biru tanpa menoleh sedikitpun.
Lalu seperti biasa, aku dan dia melewati malam itu dengan desahan panjang dan pagutan yang tak lepas-lepas. Dua raga melebur menjadi satu. Dua jiwa bergejolak dengan jalan pikirannya masing-masing. Bagiku, ini adalah sebuah permainan yang penuh kenikmatan. Baginya? Aku tak mau tahu. Aku tak ingin tahu. Sampai ia berkemas merapikan diri ketika suara penjual roti dan tukang sayur mulai ramai menjajakan dagangannya.
“Aku tidak bisa terus seperti ini, Ka”.
Aku tak menjawab. Kuraih Marlboro putihku dan segera kuhembuskan kepulan-kepulan asap putih. Aku benci situasi seperti ini. Aku tak ingin terperangkap. Aku tak mau terbawa suasana.
“Terserah,” jawabku kemudian tanpa menatapnya.
Lalu ia pergi, dan tak lagi mengirimiku pesan-pesan pendek, sampai hari ini.
Kutatap kembali deretan huruf-huruf di ponsel CDMA-ku.
Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.
Aku tercekat. Ada yang tiba-tiba tercerabut dari ragaku. Bukan, bukan dari ragaku, tapi dari jiwaku. Setengah jiwaku seperti menguap, meninggalkan rongga-rongga kelabu yang sepi dan hampa. Dari kejauhan, kudengar senandung lagu mengalun dengan nada yang sumbang.
Picture from here
Kubaca deretan huruf di layar ponsel yang tak terlalu lebar itu.
Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.
Aku terkesiap. Ha? Maksudnya?
Dia selalu menganggapku sebagai soul mate-nya. Matanya selalu berpendar-pendar saat menerangkan panjang lebar alasannya menganggapku sebagai soul mate nya. Lalu ia akan terdiam beberapa lama begitu sadar aku menatapnya dengan bibir tersungging senyum, susah payah menahan tawa. Aku tau ia sedih dan kecewa karena aku selalu menganggap masalah soul mate ini sebagai urusan anak smu yang percaya bahwa cinta sejati itu ada.
“Kenapa sih penting banget masalah soul mate ini, Ri?” tanyaku suatu waktu. Bukan karena aku benar-benar ingin tau alasannya, tetapi lebih karena guilty feeling telah membuatnya merasa disepelekan.
Ia menatapku seolah aku bertanya ada berapa jari tangan yang dimiliki oleh seorang manusia bertubuh sempurna.
“Kalau sudah kutemukan, tentu aku akan berhenti mencari. Dan aku akan selalu bersamanya sampai akhir nafasku”. Gaya bicaranya menggemaskan. Persis seperti ibu guru fisika yang mencoba menerangkan hukum phytagoras kepada murid laki-lakinya yang bebal.
“Jadi apa sih yang kamu maksud dengan soul mate itu,” tanyaku iseng. Aku tau pertanyaan ini bisa membuka diskusi berjam-berjam. Atau mungkin bukan diskusi, lebih tepat monolog dari bibir ranumnya itu.
Tapi ternyata malam itu ia tidak terlalu bersemangat untuk ber-monolog. Perempuan bermata indah itu hanya berkata singkat, “Belahan jiwa, Raka.” Lalu memelukku dengan erat, seakan sebuah pesawat telah siap di landasan untuk membawaku ke daratan Rusia yang dingin dan beku.
Aku membelai rambutnya yang kecoklatan. Nyaman sekali rasanya bisa merengkuhnya dalam pelukanku. Entah berapa lama aku dan dia berdiam dalam posisi seperti itu, sampai suaranya memecahkan keheningan.
“Ini salah satu bukti bahwa kita soulmate, Ka. Kita bisa merasa nyaman bersentuhan dalam waktu yang lama tanpa merasa terbebani untuk bicara”.
“Hahaha, tapi kenapa kamu bicara juga….,” tak tahan aku tertawa dan melepaskan pelukanku. Ia bersungut-sungut. Kelihatan sekali kekesalan hatinya dibalik matanya yang redup dan sayu.
Aku kembali merasa bersalah dan ingin segera kembali merengkuhnya untuk merasakan kenyamanan tadi. Tapi, ah, rasanya lebih seru kalau aku kembali menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol itu.
“Jadi coba terangkan kepadaku sekali lagi, kenapa kau menganggap aku sebagai soul mate-mu.”
Ia merapikan rambutnya, mengubah posisi duduknya dan menatapku dengan matanya yang bening. Ia seperti tengah menghadap dosen favorit yang baik hati, tapi telah dua kali memberinya nilai F.
“Karena kamu selalu tiba-tiba muncul setiap kali aku membutuhkanmu, kamu selalu mengatakan sesuatu yang ingin aku tanyakan, bahkan pesan pendek mu selalu muncul tepat saat aku merogoh ponselku untuk mengecek apakah kamu sudah menjawab pesanku. Kamu juga sering mengalami itu kan?”
Aku setengah mati menahan agar senyum di bibirku tidak mengembang.
“Ah, itu kan kebetulan….,” kataku ringan.
“Kebetulan tidak datang berkali-kali, Raka,” jawabnya melankolis. ”Aku selalu tau apa yang kamu inginkan dan kamu selalu mengerti apa yang aku rasakan.”
“Kecuali masalah soul mate ini, hahaha…..” potongku sambil tergelak.
Ia tercenung. Ingin sekali aku kembali merengkuhnya, membelainya, menciuminya. Tapi aku tak mau terbawa ke suasana yang sentimentil. Terlalu berbahaya. Pagar itu harus erat kujaga.
“Sudah lah Ri. Apa sih yang kau harapkan dari ku? We are having fun kan? It’s just a game. Sebentar lagi juga kamu akan bosan padaku, aku juga masih ingin bertualang dengan perempuan lain. Let’s make the best of what we have now.”
Ia menarik nafas panjang. Ia tau aku tak pernah mau bicara tentang cinta dan ikatan. Ia tau aku adalah elang jantan yang ingin bebas terbang tinggi dan menukik untuk memangsa, kemudian kembali ke langit biru tanpa menoleh sedikitpun.
Lalu seperti biasa, aku dan dia melewati malam itu dengan desahan panjang dan pagutan yang tak lepas-lepas. Dua raga melebur menjadi satu. Dua jiwa bergejolak dengan jalan pikirannya masing-masing. Bagiku, ini adalah sebuah permainan yang penuh kenikmatan. Baginya? Aku tak mau tahu. Aku tak ingin tahu. Sampai ia berkemas merapikan diri ketika suara penjual roti dan tukang sayur mulai ramai menjajakan dagangannya.
“Aku tidak bisa terus seperti ini, Ka”.
Aku tak menjawab. Kuraih Marlboro putihku dan segera kuhembuskan kepulan-kepulan asap putih. Aku benci situasi seperti ini. Aku tak ingin terperangkap. Aku tak mau terbawa suasana.
“Terserah,” jawabku kemudian tanpa menatapnya.
Lalu ia pergi, dan tak lagi mengirimiku pesan-pesan pendek, sampai hari ini.
Kutatap kembali deretan huruf-huruf di ponsel CDMA-ku.
Thanks for a wonderful one year. I will always cherish it.
Aku tercekat. Ada yang tiba-tiba tercerabut dari ragaku. Bukan, bukan dari ragaku, tapi dari jiwaku. Setengah jiwaku seperti menguap, meninggalkan rongga-rongga kelabu yang sepi dan hampa. Dari kejauhan, kudengar senandung lagu mengalun dengan nada yang sumbang.
Picture from here
Wednesday, 6 February 2008
Cahaya yang Padam
Lilin itu kian meredup
Basah oleh air mata
Dan tetes darah dari hati yang terluka
Sebelum akhirnya padam, tak bersisa
Karena cahaya tak lagi berarti
Ketika gulita menyelimuti hati
Hening, diam tak tergapai
Sendiri dalam pesta yang telah selesai
Yang ada hanya nafas
Yang ada hanya raga
Tanpa rasa
Tanpa jiwa
Tanpa cahaya
Picture from here
Subscribe to:
Posts (Atom)