Thursday, 28 August 2008

Rindu itu...

Rindu itu luar biasa indahnya. Indah, meski ia tajam mengoyak jantung yang tengah berdegup dengan lembut. Dan saat rindu itu semakin memagut, mengiris-iris hati yang berubah warna menjadi ungu, kita seperti kehilangan oksigen. Semakin kita mencarinya, semakin kita tergagap dan jatuh ke dalam ruang hampa udara.

Dan itu yang aku rasakan kini.

Rindu itu tiba-tiba saja datang lewat aroma dari sebotol kecil EDT keluaran The Body Shop. Aroma mawarnya membawaku kembali ke pertemuan kita di sepenggal senja, di bulan September setahun silam, di sebuah kedai kopi dengan sofa-sofanya yang empuk berwarna kecoklatan. Aku menunggumu dengan sebuah buku dan secangkir peppermint tea hangat. Lalu kamu datang dengan nafas tersengal karena waktu di tanganmu menunjukkan bahwa kamu telah setengah jam terlambat.

“Sori…, udah lama ya…?” tanyamu khawatir.

Aku hanya tersenyum, menatapmu sambil mengaduk minumanku yang tak lagi hangat, lalu meneguknya sedikit tanpa melepas tatapanku dari matamu. Aku tersanjung melihatmu begitu khawatir.

“Kemana dulu sih…?” tanyaku setengah merajuk, seolah tak peduli dengan tatapan matamu yang berharap pengertianku.

“Aku tadi beli ini untuk kamu. Mudah-mudahan suka.”

Sebotol kecil Cassis Rose EDT berwarna merah jambu. What a surprise! Aku tidak sedang berulang tahun dan aku tidak sedang merayakan apapun. Belum ada seorang pun yang tiba-tiba memberiku sesuatu tanpa alasan yang jelas. Tapi kamu melakukannya seolah itu adalah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Kamu malahan mengajakku berdiskusi tentang strategi pemasaran The Body Shop dan Anita Roddick dengan ide-idenya yang cemerlang. Dan seperti biasa, diskusi itu tak berujung pada kesepakatan. Untungnya, kita sependapat bahwa wangi yang merebak dari botol kecil itu sungguh sangat menentramkan hati. Aromanya menawarkan kenyamanan, membawa kita ke sebuah rumah kaca yang penuh dengan mawar berwarna-warni dan hamparan rumput hijau serta pucuk-pucuk cemara di sekelilingnya.

Berhari-hari setelahnya – bahkan sampai hari ini – aku selalu bertanya-tanya, apakah aku boleh merasa tersanjung dengan pemberianmu, seperti aku tersanjung melihat matamu yang penuh kekhawatiran? Apakah wangi mawar itu merupakan sebuah ungkapan yang tak dapat kau utarakan padaku? Tapi, ungkapan apa? Aku tak ingin berandai-andai, aku tak ingin tersanjung tinggi untuk kemudian jatuh di hamparan karang yang memerihkan.

Aku hanya tau bahwa aku selalu merindukanmu. Aku rindu percakapan kita yang tak selalu mengalir. Aku rindu debat kusir kita yang tak pernah berujung dengan kesepakatan. Aku rindu kesalahpahaman kita yang menggelikan. Aku bahkan rindu marahmu.

Rindu ini membuatku ingin berlari di padang rumput yang hijau dengan bunga lantana berwarna kuning, putih dan jingga. Aku ingin terbang dan menghempaskan tubuhku yang letih di awan putih yang bergerak pelan terhembus angin. Aku ingin berkelana tanpa tau apakah bisa kembali, mengarungi samudera dengan ombak yang mengangkatku setinggi elang yang mengepakkan sayap dengan keangkuhannya. Aku ingin itu semua seperti aku ingin kembali berada disisimua sembari menatap kedua bola matamu. Keinginan yang kutau tak mungkin kudapatkan.

Seperti pertemuan pertama kita yang biasa-biasa saja, pertemuan terakhir kita juga tak terasa istimewa. Kita bertemu di sebuah kedai makan yang menyajikan nasi hainan dan bebek panggang kegemaranmu. Kita bicara panjang lebar, utara selatan, politik, infotainment, strategi pemasaran, sampai ke masalah sistim pendidikan saat iniI. Diskusi yang menyenangkan, yang selalu memperkaya jiwa, meski sekali lagi, tak ada kesepakatan. Mungkin itulah yang menjadikanmu candu bagiku. Kamu selalu mengisi gelasku yang separuh kosong menjadi penuh kembali. Kamu memberikan semburat jingga pada langit yang putih dan kelabu. Kamu meneteskan embun di padang kerontang yang minim oksigen.

Dan dalam pertemuan siang itu, tepat saat aku menyendokkan suapan terakhirku, kamu dengan santainya mengatakan bahwa dalam dua hari ini kamu akan berangkat ke negeri kangguru untuk meneruskan menimba ilmu.

Aku terhenyak, meneguk teh hijauku yang mengepul panas, lalu menyenderkan bahuku yang terasa lunglai. Pandanganku kabur, telapak tanganku dingin dan lembap, jantungku berdegup kencang bak beduk yang bertalu-talu saat Lebaran menjelang.

Tak ada apa-apa lagi setelah kepergianmu. Mungkin pada akhirnya kita sepakat bahwa some things are better left unsaid and some mysteries are better left unsolved.

Rindu itu luar biasa indahnya, meski gelasku kembali separuh kosong, langitku menjadi kelabu dan hatiku berubah ungu. Rindu itu tetap luar biasa indah.

.
.
Picture from here.

4 comments:

anang prabowo said...

duh... bagus semua, indah... saya sangat suka sekali membacanya... mengalir...

terima kasih banyak, Luna

salam.

Luna said...

@ Anang: :) Kok terima kasih sih? Luna yang harus berterima kasih karena Anang udah mampir dan kasih komen. Kritik ditunggu ya....

Anonymous said...

Aduuuhh tulisannya bagus banget. Saya sangat terhanyut.. saya merasakan rindu itu.. saya merasakan situasi di cafe itu.. saya seolah-olah jadi kamu. Kpn bikin novel? (ato sudah?). Klo bikin novel kabar2 ya.. pasti saya akan menjadi pembeli pertama :) Jangan pernah berhenti berkarya.

Luna said...

@ mediana: Hahaha...., bikin novel? Hmm, ide yang menarik...;). Anyway, makasih yaaa, udah mampir dan memberi komen. Semoga tulisan Luna bisa menghibur.