Sunday, 21 October 2007

Barbie Dari Ayah


Aku sayang Ayahku. Sepanjang ingatanku, ia adalah seorang Ayah yang baik. Dalam kenanganku, ia selalu tertawa, jenaka penuh canda tawa, kata-katanya selalu membuatku merasa menjadi putri tercantik sejagat raya. Dan aku tahu, ia selalu berusaha keras memenuhi segala keinginanku.

Itulah sebabnya aku sangat tidak mengerti ketika ibu memutuskan untuk meninggalkannya. Pada suatu siang yang panas, ketika ayah tak ada, nenek terlelap tidur siang, tante Icha pergi ke kantor dan om Adi belum pulang kuliah, Ibu mengambil sebuah koper besar. Ia memasukkan seluruh bajunya dan bajuku yang tidak terlalu banyak kedalamnya. Juga semua mainanku, termasuk sebuah boneka Barbie hadiah dari ayah untuk ulang tahunku yang ke-7 hari itu. Sebuah taxi biru membawa aku dan Ibu serta koper besar itu meninggalkan rumah nenek. Aku dan Ibu memulai hidup baru berdua.

Tidak seperti Ibu yang kerap muram dan banyak mengatur, Ayah selalu gembira dan tak pernah marah. Ia selalu tertawa dengan mata yang merah dan mulut serta nafas yang beraroma aneh. Aku selalu dipeluknya dengan erat setiap kali ia pulang ke rumah. Meski pulang larut malam, ia kerap membangunkanku, mengajakku menari-nari sambil bernyanyi dengan suaranya yang sama sekali tak merdu. Kadang-kadang ia terjatuh selagi berusaha mengayunkan kaki seirama lagu yang disenandungkannya. Tapi ia tetap tertawa-tawa, lalu tertidur pulas di lantai atau sofa tempatnya terjatuh.

Kalau sudah seperti itu, Ibu hanya memandang dari kejauhan, lalu tanpa suara masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan nenek yang dengan tertaih-tatih akan masuk dan mengunci kamar. Hal yang sama dilakukan oleh tante Icha dan om Adi yang biasanya membanting pintu keras-keras.

Tak ada yang berani menyentuh Ayah. Tak ada yang mempedulikannya. Hanya aku yang tetap memeluknya, dan terkadang terlelap disampingnya sampai suara adzan dari surau di seberang rumah berkumandang dengan merdu.

Aku sangat menyayangi Ayah karena ia selalu bekerja keras. Ia sering tak pulang ke rumah, katanya bekerja lembur untuk mewujudkan kehidupan yang diimpikannya. Dengan gaya bicaranya yang lucu dan penuh semangat, ia bercerita tentang rumah yang sedang dibangunnya. Rumah itu megah berwarna putih bersih katanya. Aku, Ibu dan Ayah akan segera pindah ke rumah itu begitu Ayah mendapatkan cukup uang untuk menyelesaikan pembangunannya. Aku tak pernah diajak untuk melihatnya, tapi menurut Ayah, rumah itu mempunya halaman yang sangat luas. Ada kolam ikan dan air mancur yang selalu bergemericik di halaman belakang. Sementara itu, halaman depan diteduhi oleh deretan pohon cemara dan bunga berwarna warni. Oya, aku juga harus belajar berenang kata Ayah, karena sebuah kolam renang pribadi juga akan dibangun di samping rumah.

Aku diajaknya berangan-angan tentang kamar tidurku di rumah baru itu. Keempat dindingnya harus berwarna merah jambu, kataku. Aku juga ingin memiliki sebuah meja rias sendiri dimana dapat kutaruh sebuah boneka Barbie yang dapat berputar menari diatasnya. Sebuah meja belajar akan kutempatkan di sudut ruangan, lengkap dengan lampu belajar, deretan buku-buku cerita serta pensil berwarna-warni. Sebuah ruangan yang nyaman, bertirai putih transparan dan berpendingin udara tentunya. Wah, senangnya…… Dan Ayah berjanji akan membacakan cerita sebelum aku pergi tidur setiap malam.

Aku percaya Ayah bekerja keras dan menabung untuk itu semua, dan karena itulah Ayah tak pernah memberi Ibu uang belanja. Dalam tidurku yang belum lelap, sering aku mendengar mereka bertengkar mengenai hal itu, dan biasanya berakhir dengan ibu yang terisak dan ayah yang pergi meninggalkan rumah. Ayah akan kembali beberapa hari kemudian, dengan mata merah dan aroma yang aneh, lalu mengajakku menari-nari mengitari ruangan.

Tapi aku tetap menyayangi Ayah. Ia adalah sosok yang selalu menghiburku, yang memberiku angan dan harapan untuk semua mimpi-mimpiku. Dan tak ada yang lebih kuinginkan untuk hadiah ulang tahunku yang ke-7, tiga tahun yang lalu, selain sebuah boneka Barbie berambut pirang, bermata biru.

“Barbie Princess, Ayah. Yang bajunya panjang berwarna ungu. Juga ada tongkat, mahkota dan sisir untuk merapikan rambutnya,” rengekku malam itu.

Ayah tertawa, memelukku dengan erat, mencium rambutku dan berjanji akan membawakan boneka Barbie seperti yang kupinta.

Sepulang sekolah esok harinya, aku mendapati sebuah kado yang terbungkus rapi di atas tempat tidurku. Dari Ayah!, batinku girang. Kusobek bungkusnya dengan hati berdebar-debar, dan pelan kukeluarkan kotak berisi sebuah boneka Barbie, persis seperti yang kuinginkan. Aku segera memanggil ibu, dan menari-nari mengitari kamar bersama Barbie Princess-ku. Tapi ibu tidak membalas dengan senyum manisnya. Ia duduk di sudut tempat tidur dan menggamitku untuk duduk tenang di hadapannya.

“Tante Icha kehilangan hape-nya. Katanya semalam ditaruh di dekat televisi. Kamu lihat tidak?,” tanya Ibu dengan mata menyelidik.

Aku terdiam memandangi Barbie-ku yang tersenyum dengan matanya yang berbinar-binar.

“Kan semalam kamu dan Ayah yang paling akhir menonton televisi?” suara Ibu kian terdengar mendesak.

Aku membelai-belai rambut Barbie-ku. Ayah telah mewujudkan impianku! Akhirnya, aku memiliki sebuah boneka Barbie seperti teman-temanku yang lain.

Lalu Ibu menjentik daguku dan melihat langsung ke mataku.

“Kamu lihat tidak?” tanyanya lagi dengan suara yang lebih tegas.

Aku menarik nafas panjang. Kupegang erat Barbie-ku seolah seseorang akan segera merebutnya dari tanganku.

“Dikantongin sama Ayah,” kataku akhirnya.

Ibu langsung melirik boneka Barbie-ku. Lalu bergegas mengemas bajunya dan bajuku untuk kemudian meninggalkan rumah nenek di siang yang panas itu. Aku tahu, bukan sekali ini Ayah mengambil barang-barang nenek, tante Icha dan om Adi tanpa seijin mereka.

Kini umurku 10 tahun, dan aku tetap sayang Ayah meski sudah tiga tahun tak bertemu. Tidak seperti Ibu yang berhenti mencintai dan pergi meninggalkannya, aku tak pernah berhenti menyayangi Ayah meski orang menyebutnya sebagai penganggur, pemabuk, pemadat dan pencuri.


Picture from here

Monday, 17 September 2007

DEG

Deg.

Mata lelaki itu begitu tajam menghujam, menembus sampai ke relung hati, membuat jantung si gadis belia berdegup kencang dengan tubuh gemetar. Ruang yang hiruk pikuk itu tiba-tiba saja seperti dalam keadaan diam dan sunyi. Semua menjadi tak penting, samar dan buram, kecuali dia yang tiba-tiba menjadi poros dari segala yang berputar.

Lelaki itu masih lekat menatapnya, meski terlihat ia berbincang dengan orang-orang di sekitarnya. Dan dalam angan si gadis belia, lelaki itu berdiri, berjalan pelan ke arahnya, lalu menggengam erat jari-jari tangannya

“Aku sudah lama menunggumu,” bisiknya sambil mengerdipkan mata. “Kita harus segera pulang.”

Lelaki itu lalu menuntunnya, membimbingnya dengan penuh kasih. Tubuhnya hangat dengan wangi lelaki, membuat si gadis belia ingin segera merebahkan diri dalam pelukan nyamannya.

Mereka bergandengan menapaki jalan kecil berkerikil, dengan ditemani desau angin dan bulan yang bulat sempurna. Suara jangkrik lemah terdengar, selebihnya adalah tarikan nafas dan langkah-langkah kaki yang menginjak tebaran daun-daun kering.

Lalu sampailah mereka di depan sebuah rumah mungil bercat hijau muda. Pagar kayunya berkerikit ketika dihela keluar. Si gadis belia terhenyak sesaat, ragu melangkah. Tapi tatapan lelaki itu bak sihir yang mendorong dua tungkainya mengayun masuk ke dalam.

Pelan ia melangkahkan kaki kanannya ke ruang di balik pintu utama, sebuah ruang yang temaran dengan sofa hijau tua yang terlihat nyaman. Bantal-bantal mungil berwarna kuning dan hijau pupus bertumpuk tak beraturan. Si gadis belia merasa sudah seharusnya ia membereskan bantal-bantal itu, menyusunnya dengan rapi sehingga cantik terlihat sebagai pemanis ruangan.

Lelaki itu berdiri menunggunya merapikan ruang tamu mungil itu tanpa henti menatapnya. “Kamu istri yang baik,” katanya kemudian.

Si gadis belia terkesiap, oh, aku telah menjadi istrinya? Ya, ya, tentu saja. Bukan kah ia baru saja menjalani upacara akad nikah yang khidmat beberapa waktu yang lalu? Ia mengenakan kebaya putih dengan bordir bunga di lengan dan dadanya. Rangkaian melati teruntai dari rambutnya yang tersanggul rapi, menebarkan wangi khas pengantin. Semua tamu tersenyum bahagia melihat mereka berdua. Ayahnya berpeci dengan jas abu-abu tua dan dasi kuning cerah, ibunya sumringah dengan kebaya merah darah. Pernikahan sederhana namun begitu sempurna.

Aku harus menjadi istri yang baik baginya, batin si gadis belia. Ia lalu melangkah ke ruang makan, membuatkan secangkir teh manis hangat.

“Sebentar aku siapkan makan malam ya,” katanya sembari menempatkan cangkir porselen berbunga-bunga biru di meja kecil di samping tempat si lelaki duduk.

Ia mengeluarkan sepasang piring dengan corak bunga biru yang sama dari lemari makan. Lalu pinggan-pinggan lauk, daging empal goreng, tumis sayuran, tempe goreng dan sop ayam. Ada sebuah mesin penghangat makanan di sudut ruangan. Ia tinggal memasukkan lauk-lauk itu ke dalamnya, menekan tombol, dan dua menit kemudian, lauk-lauk itu menjadi hangat seperti baru dimasak. Persis seperti apa yang pernah ia lihat di layar kaca baru-baru ini. Nasi yang siang tadi ditanaknya juga masih mengepul panas berkat wadah khusus yang ajaib itu.

Mereka menikmati makan malam berdua. Lelaki itu berceloteh tentang pekerjaannya hari itu, tentang jalanan yang macet dimana-mana dan tentang kegelisahannya ketika menunggunya tadi. Gadis belia mendengarkan semuanya dengan mata berbinar-binar.

“Aku akan membereskan meja dan piring kotor ini,” kata si lelaki beberapa saat setelah suapan terakhirnya. “Kau pergilah mandi dengan air hangat,” lanjutnya sambil mengerdipkan mata.

Gadis belia melangkah masuk ke kamar mandi dengan tubuh setengah telanjang. Ia sangat menyukai kamar mandi yang wangi ini, dengan dinding berwarna merah jambu, kaca yang lebar dan lampu yang terang. Diraihnya sabun dengan harum mawar, lalu dibasuhnya seluruh tubuhnya dengan busa putih yang lembut.

Saat kembali ke kamar dalam balutan handuk putih yang tebal, lelaki itu sudah menunggunya di tempat tidur. Matanya hangat menggoda. Lelaki itu lalu menciumi rambut dan lehernya sebelum akhirnya mereka bergumul dalam pertarungan yang sarat desah berkepanjangan. Mereka tidur berpelukan sampai kokok ayam ramai bersautan.dan mentari pagi menyembul keluar dengan warna jingganya.

Gadis belia segera bangun, menyeka mukanya, lalu membuka lebar lemari pakaian berpintu ganda. Kemeja mana yang akan aku siapkan untuknya hari ini? Pilihannya jatuh pada kemeja biru muda bergaris putih yang samar. Lalu diraihnya sepotong dasi polos biru tua, senada dengan pantalon yang sudah terseterika rapi.

Selesai menyiapkan baju untuk si lelaki, ia bergegas ke dapur, menyeduh secangkir teh manis panas, mengoles setangkup roti dengan selai kacang dan mendadar telur dengan parutan keju. Semua rapi tertata di meja ketika lelaki itu keluar kamar dengan pakaian yang disiapkannya tadi. Wangi after shave cologne nya begitu menyegarkan, membuat si gadis belia tersipu mengingat pergumulan yang menggairahkan malam tadi. Lelaki itu menikmati sarapan paginya dengan tenang sembari membuka-buka lembar surat kabar terbitan pagi itu.

Kemudian ia mengambil kunci mobil, menyalakan mesinnya, lalu kembali untuk mengecup kening si gadis belia.

“Aku ke kantor dulu ya. Masakkan aku ayam goreng dan sayur bayam dengan jagung yang manis untuk nanti malam…,” katanya sambil mengerdipkan mata.

Si gadis belia mengangguk dan tersenyum manis, lalu melambaikan tangan saat lelaki itu beranjak pergi dengan sedan berwarna perak mengkilap.

Tapi tidak, pada kenyataannya lelaki yang tadi menatapnya dengan tajam itu tak pergi dengan sedan berwarna perak mengkilap. Pada kenyataannya. lelaki itu pergi dengan deru motor yang memekakkan telinga, meninggalkan asap knalpot yang menyesakkan dada.

“Ayo neng, beres-beres….. Kita tutup sebentar lagi,” suara serak lelaki separuh baya membuyarkan angannya.

Deg.

Debar jantung gadis belia yang tadi berdegup kencang perlahan kembali beraturan. Ia menarik napas panjang. Hari ini hanyalah sepenggal hari biasa. Ia harus segera menyapu lantai, membersihkan meja dan mencuci gelas-gelas kotor yang ditinggalkan pelanggannya, untuk kemudian melayani birahi si lelaki paruh baya, pemilik warung kopi pinggir jalan tempatnya menyambung hidup di gemerlap kota metropolitan.


Picture from here

Monday, 10 September 2007

Dua Samudera


Kita adalah dua samudera
Dengan gelombang pasang tak tentu arah
Yang memutar balikkan timur dan barat
Dalam mencari hangatnya pasir tak berkarang

Kita adalah bulan dan matahari
Yang saling memberi dan menyinari
Mengulurkan pelangi dan mega-mega mimpi
Menebarkan wangi di lembah bunga berwarna warni

Tapi itu semua semu belaka
Karena peluit panjang selalu nyaring berbunyi
Dan lonceng berdentang membuyarkan angan
Ingatkan kita tuk kembali berlari

Kita adalah dua samudera
Dengan badai hujan dan guruh menggelegar
Tak lelah menggapai hangatnya pasir tak berkarang
Tak menyerah meski tau itu tiada
.
.
Picture from here

Wednesday, 29 August 2007

Akhir


Buku dan secangkir kopi
Adalah temanku kala menunggumu
Diantara gegas langkah beragam manusia
Dengan berbagai kisah di balik senyum dan tawanya

Adakah aku masih menunggu mu kini?
Sementara kepulan panas kopi sudah mereda
Dan lembar-lembar buku itu sudah mulai terkoyak
Lelah…

Karena kita adalah dua kutub yang berbeda
Dengan jalan hidup yang tak perlu bersinggungan
Kecuali untuk berbagi canda dan cerita
Dan bukan gemuruh rasa yang kadang datangkan amarah dan air mata

Jadi biarlah angin membawa kita
Ke padang luas yang lengas dan tanpa batas
Sampai ia kembali menghembuskan
Lembar-lembar baru yang lebih berwarna

Peluk cium untukmu
Sahabatku, selalu…


Picture by Eva Muchtar

Wednesday, 8 August 2007

Lelaki Lelaki

Selasa, jam 8 pagi, Johan terbangun oleh dering ponselnya.

“Jo, gimana ya?” suara Siska terdengar begitu gundah.
“Apanya yang gimana?” jawabnya kalem.

“Ronny. Semalem dia pulang telat lagi, ga jelas kemana. Tapi tadi pagi dia ekstra perhatian. Aku dibuatin kopi! Terus dia bilang aku cantik dengan baju baru. Padahal baju itu sudah kupakai tiga kali! Aku curiga Jo....,” suara perempuan itu tambah memelas.

“Curiga apa?”
“Ada perempuan lain, Jo. Ini naluri seorang istri....,” suaranya mulai bergetar, lalu terisak.
“Ga mungkin lah Sis. Kalau nalurimu benar, aku pasti tau. Aku kan sudah belasan tahun kenal Ronny. Pasti dia cerita….”

“Kamu mau tolongin aku ga, Jo?”
“Tolong gimana?”
“Cari tau apakah naluriku benar”
“Iya, beres. Kalau iya, pasti kamu aku kasih tau”

“Thanks, ya Jo. Kamu sahabat yang baik”
“He eh, anytime...”

Johan menarik napas panjang. Lalu dengan tergesa bangun dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin.

Johan dan Ronny sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Sebuah persahabatan yang unik, karena tak sedikitpun ada kesamaan di antara mereka.

Johan adalah lelaki yang sangat cuek dengan rambut yang selalu terlihat sudah waktunya dipangkas. Bicaranya pendek-pendek, mengisyaratkan bahwa ia tak memandang penting lawan bicaranya. Hanya ada dua topik pembicaraan yang mampu membuatnya hidup: musik dan lingkungan. Ia seorang music arranger sekaligus aktivis lingkungan dan pendaki gunung yang handal.

Sebaliknya, Ronny adalah seorang gentleman sejati. Ia seorang pendengar yang baik dan selalu bisa menghangatkan suasana dengan joke-joke yang smart. Pekerjaannya di divisi marketing sebuah perusahaan FMCG terkemuka telah membuka perkenalannya dengan Siska, seorang copywriter pada sebuah biro iklan papan atas.

Dan Ronny mampu mengaduk-aduk perasaan perempuan itu. Siska terbuai dalam hari-hari berisi coklat Toblerone, buket mawar dan senandung Andrea Bocelli. Tak ada alasan untuk berkata tidak ketika Ronny meminangnya setahun setelah mereka berkenalan. Semua berjalan sempurna.

############################

29 hari setelah suara gundah Siska membangunkan Johan pada pukul 8 pagi.

“Jo, nanti malem ada acara ga?”
“Ga, kenapa?”
“Aku ulang tahun hari ini,”
“Oh, happy birthday…. Mau traktir makan?”
“Iya, Ronny barusan ingetin aku untuk ngundang kamu. Katanya kalian udah lama ga ketemu ya?”
“Iya. Oke deh…”
“K, cu ya…”

Malam itu, di sebuah lounge hotel berbintang lima di kawasan Senayan, Johan mendapati Siska duduk sendirian, bermain game di ponsel nya.

“Hai, mana Ronny?”
“Ronny telat, ngejar deadline tadi. Sekarang pasti lagi kena macet…”
“Oh…., iya, macet banget hari ini…”
“Kata Ronny kita makan duluan aja. Kita order sekarang ya?”

Siska lalu berceloteh tentang rumah baru mereka, tentang produk sabun yang akan diluncurkan kliennya, tentang rencana liburan ke Bali akhir tahun ini. Hmmm, Siska terlihat lebih cantik dengan potongan rambut baru ini, pikir Johan. Ia juga terlihat sexy dengan kaos hitam ketat berbelahan dada rendah itu. Betapa beruntungnya Ronny mendapatkan perempuan ini.

“Jo, inget ga waktu aku telpon kamu beberapa minggu yang lalu itu?” tiba-tiba Siska mengalihkan pembicaraan.

“Yang mana?”
“Yang aku bilang sepertinya Ronny ada perempuan lain itu lho…..”.

Johan menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Ia gusar, tapi Siska malah tertawa.

“Don’t worry, aku bukan mau mengeluh lagi kok. Aku pikir, aku emang suka kelewat curiga. I have to learn to trust him more”.

“Iya, bener tuh Sis,”
jawab Johan lega. “Laki-laki paling ga suka dicurigai”.

“Aku bilang ke Ronny, buatku, yang penting aku tau dia berada dimana. Jadi sekarang kalau pulang telat, dia selalu telpon atau sms. Kasian juga sih emang, kalau dia pulang telat karena lembur, eh sampai rumah aku malah cemberut…” .

“Iya betul, you have to trust each other. Itu yang akan membuat sebuah perkawinan survive,” ujar Jo mantap.

Tepat saat itu, Ronny muncul dengan sebungkus kado kecil berpita merah jambu. Dikecupnya kening istrinya.

“Sorry ya hon, another hectic day in the office…..” .
“Iya, ga apa-apa kok, untung ada Johan….”
“Hai Jo, kemana aja? How’s life, man…..?“
sapa Ronny sambil menonjok pelan sahabatnya itu.

Johan berdiri dari kursinya.

“Aku ke toilet dulu,” ujarnya pendek.

Di toilet yang wangi itu, Johan menurunkan tutup closet dan duduk dengan tangan mengacak rambut yang sudah waktunya dipangkas. Terngiang kembali suara Siska yang penuh kekhawatiran:

Ronny telat, ngejar deadline tadi. Sekarang pasti lagi kena macet…

Lalu dengan perlahan ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan membaca kembali pesan pendek dari Ronny:

Jo, tolong temenin Siska dulu. Gue masih sama Nancy. Tks.

Johan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ronny tak pernah berubah. Mengapa perempuan begitu mudah untuk dikelabui?


Images from here

Saturday, 4 August 2007

Dua Cappuccino

Di sepenggal sore dengan rintik hujan yang tak mau berhenti, sepasang lelaki dan perempuan memasuki sebuah kedai kopi dengan replika menara Eiffel di sudut ruangan. Alunan karya-karya Tchaikovsky lembut mengelus telinga, ruangan yang temaram, dan sekuntum mawar merah di atas setiap meja mungil bertaplak kotak-kotak merah. Sebuah setting yang romantis.

“Dua cappuccino panas dan satu waffle strawberry. Dua garpu ya, mas” kata si perempuan kepada pelayan, tanpa bertanya kepada pasangannya. Sebuah tindakan yang jelas mengisyaratkan bahwa ini bukanlah pertemuan mereka yang pertama, atau yang kedua.

Si lelaki langsung menyalakan sebatang Marlboro Light putih. Matanya menerawang menembus asap putih yang dihembuskan dengan berat.

“Jadi gimana?,” tanyanya kepada si perempuan tanpa mengalihkan pandangannya dari kepulan asap.

“Menurut kamu gimana?,” si perempuan balik bertanya.

“Don’t answer my question with question! Itu kebiasaan buruk kamu,” suara si lelaki terdengar meninggi.

Mata si perempuan langsung berkaca-kaca. Apa yang harus dikatakannya? Ia begitu menyayangi lelaki ini. Lelaki yang setahun belakangan ini menjadi tumpahan segala rasa di hatinya, yang sanggup membawakannya semburat pelangi di hari-harinya yang terkadang mendung dan muram.

Lelaki ini adalah sahabat masa kecilnya, yang tinggal di ujung kelokan rumahnya. Mereka melewati masa kecil bersama, berangkat ke sekolah berdua, berlari-lari dalam hujan, bersepeda di sore yang jingga, tertawa-tawa dan saling menggoda. Ah indahnya. Itu adalah cerita 20 tahun yang silam.

“Cappuccino nya mbak, silakan,” pelayan muda menempatkan secangkir cappuccino panas di hadapannya, lalu secangkir lagi di hadapan si lelaki, serta sepiring waffle dengan lelehan strawberry sauce yang segar dan dua garpu di antara dua cappuccino.

“Ga mungkin diterusin, kan?” suara si lelaki terdengar seperti gema dari lorong yang jauh.

Butir-butir air mata mulai bergulir di pipi si perempuan yang halus. Ingatannya melanglang ke masa awal kuliah, pertemuannya kembali dengan si lelaki setelah 10 tahun ia dan keluarganya pindah dari rumah di ujung tikungan tempat tinggalnya. Pertemuan di sebuah toko buku.

“Hai..., ini kamu kan?” si lelaki menegur dengan lucu. Matanya menari-nari dengan kepala condong ke kiri, sebuah kebiasaan semenjak kecil ketika ia sedang ingin menggoda.

“Hai..., apa kabar? Dimana kamu sekarang?” si perempuan tergagap menatap lelaki di hadapannya, setengah tak percaya.

“Di sini..., hahaha...,” jawab si lelaki dengan terbahak.

“Ah, kamu masih lucu aja....”

“Ayo, kita ngobrol dulu, sambil makan es krim yuk?”
ajak si lelaki.

Dan hari-hari selanjutnya mereka isi dengan pertemuan-pertemuan yang penuh canda tawa. Sayang cerita itu tak sempat berlanjut, karena si perempuan tak membuka pintu dengan lebar, dan si lelaki pun tak mengetuknya dengan lebih keras. Si lelaki menghilang begitu saja, dan si perempuan tak pernah juga mencari jejaknya.

Sampai 10 tahun kemudian, pertemuan kembali terjadi. Pada sebuah bank, ketika si perempuan berdiri bosan di antrian yang panjang. Lelaki itu tiba-tiba saja sudah ada disampingnya, dengan tatapan mata yang menari-nari dan kepala condong ke kiri.

“Ayo, kita ngobrol dulu, sambil ngopi yuk?” begitu ajaknya kali ini.

Dan dimulailah ritual menenggak cappuccino bersama, dari satu kedai kopi ke kedai lainnya. Lalu tatapan mata yang menari-nari lambat laun berubah menjadi lembut dan hangat, memancarkan kasih dan kerinduan.

Persahabatan di masa kanak-kanak dan remaja, kini telah menjadi persahabatan di antara seorang lelaki dan perempuan dewasa. Tapi bisakah persahabatan di antara lelaki dan perempuan dewasa tetap menjadi sebuah persahabatan? Tak ada yang kuasa menghentikan ketika canda tawa menjadi genggaman tangan, genggaman tangan menjadi pelukan mesra, lalu kecupan hangat, dan kemudian sentuhan-sentuhan yang kian memanas, sampai keduanya tak dapat lagi menahan letupan gairah yang terasa begitu wajar.

“I want you.......,” bisik si lelaki diantara rambut coklat si perempuan yang tergerai wangi.

Dan si perempuan menyerahkan dirinya dengan segenap rasa, tanpa syarat, tanpa ikatan. Gelombang itu dengan dahsyat melemparkannya ke ruang yang penuh warna, menghempaskannya di tumpukan awan yang lembut dan menyeretnya kembali ke pasir putih yang hangat. Ia menemukan rumahnya, and it just feels so right...., kenang si perempuan.

“Aku sudah cari-cari info,” suara lelaki itu memecah keheningan. “Kalau kamu siap, kita tinggal datang besok. Lebih cepat lebih baik”.

Ya, lebih cepat mereka mendatangi klinik itu lebih baik. Ini adalah keputusan paling rasional yang harus mereka ambil sebelum perut si perempuan makin membuncit. Ritual menenggak cappuccino bersama memang seharusnya tidak dimulai, sesal perempuan itu. Semua seharusnya tidak dimulai, karena sebentuk cincin emas berukir nama perempuan lain telah terlingkar di jari manis si lelaki.

Rintik hujan sudah berhenti. Kepulan asap Marlboro Light telah memudar. Alunan orkestra yang menyenandungkan karya-karya Tchaikovsky pun telah berganti dengan denting gitar Tohpati, Sendiri.

The game is over, life goes on. Now is the time to face the reality.

Sepasang lelaki dan perempuan berdiri meninggalkan meja bertaplak kotak-kotak merah dengan hidangan yang tak tersentuh dan wajah yang muram.

Di antara dua cappuccino, ada sepiring waffle strawberry, yang tak mungkin mereka singkirkan.

Images from here, here and here

Saturday, 21 July 2007

Menjelang 70

Seorang perempuan sepuh duduk termangu di teras sebuah rumah yang asri. Sebuah rumah di pojokan jalan yang ramai, tapi teduh oleh berbagai tanaman merambat, pohon mangga yang mulai menampakkan pucuk-pucuk buahnya, serta segerombolan anggrek bulan yang cantik.

Tujuh hari lagi, ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke 70. Ah, bukan merayakan, mungkin lebih tepat kalau dikatakan mensyukuri kehidupan yang telah ia jalani. 70 tahun bukanlah waktu yang sekejap. Berapa juta kali ia mengedipkan mata dalam 70 tahun? Berapa ribu sendok nasi telah ia suapkan ke dalam mulutnya? Berapa kali ia mengalami mimpi buruk yang membangunkannya dari tidur? Dan perempuan itu pun merenung. Apa yang telah aku lakukan selama 70 tahun ini selain mengerjapkan mataku berjuta kali?

Tiga orang anak telah lahir dari rahimnya. Si sulung Tama, tumpuan harapan dan kejora hatinya. Senyumnya mengembang kala mengingat betapa berbungkah hatinya mendengar nama puteranya disebut lengkap dalam upacara wisuda sarjana. Pratama Putranto, bayi mungil pertamanya, telah menjadi seorang insinyur pertanian hanya dalam waktu empat tahun kuliah. Selesai sudah tugas utamanya memberikan bekal ilmu dan pendidikan. Dan betapa haru hatinya ketika Tama menyerahkan gaji pertamanya kepadanya

“Bu, hari ini Tama gajian. Gaji Tama pertama Bu. Ini hampir semua untuk ibu, Tama hanya ambil untuk ongkos ke kantor ya...”.

Ah, betapa baik anak sulungnya itu. Anak tertua yang selalu mencoba menjadi contoh bagi adik-adiknya. Sumber inspirasi dan kebanggaan keluarga. Ia pun memberinya menantu yang baik hati dan dua cucu laki-laki yang kini beranjak dewasa. Tama berhasil membina keluarga yang nyaris sempurna. Sampai musibah itu datang. Tama terserang stroke saat mencapai usianya yang paling produktif. Dan dunia pun berputar berbalik arah.

Mata perempuan sepuh itu berkaca-kaca mengenang puteranya yang telah lebih dari tiga tahun ini tak berdaya di kursi roda.

Lalu ia mengalihkan ingatannya kepada Dwiani Putrianti, putrinya yang cantik lincah namun juga memiliki hati yang terlalu keras. Ini yang selalu membuatnya bersitegang, berbeda pendapat, bersilat lidah dengannya. Sampai suatu siang yang panas, putri keduanya itu menyapa dan duduk dihadapannya. Mukanya pucat. Yah, ia memang sedang tidak sehat, pikirnya saat itu. Tapi apa yang keluar dari mulut perempuan muda yang dulu selalu ditimangnya itu membuat matanya nanar.

“Bu, Dwiani tadi ke apotik, beli test pack.”

Hening. Kemudian perempuan muda itu mendangakkan dagu dan memandang langsung ke mata ibunya. “Hasilnya positif...,” ucapnya dengan artikulasi yang sempurna.

“Maksudnya?” tanya si ibu, meski ia tau betul apa yang coba disampaikan putrinya itu.

“Ya artinya saya hamil, Bu. Dan saya sudah memutuskan untuk melahirkan anak ini, meski ayahnya tidak mengakui”

“Ibu tidak mengerti…”


Bukan, sebenarnya bukan ia tidak mengerti apa yang dikatakan putrinya. Ia hanya ingin membeli waktu sampai sesuatu membangunkannya dari mimpi buruk. Ini hanya mimpi buruk kan? Mimpi paling buruk seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya, apapun yang pernah terjadi diantara mereka.

Satu minggu setelah pembicaraan di siang yang panas itu, Dwiani meninggalkan rumah. Perempuan sepuh tak melarangnya. Putrinya telah dewasa, biarlah ia belajar dari kesalahan yang dibuatnya. Harga yang harus ditebus untuk tidak mendengarkan nasehat-nasehat ibunya, demikian pikirnya saat itu.

Ia masih memiliki Tristan. Tristan Anggarda Putera, si bungsu yang tak sempat mengenyam kasih sayang sang ayah. Pemberian paling berharga dari suaminya yang menghadap Yang Maha Kuasa hanya beberapa bulan setelah dua kaki mungil Tristan mulai bisa menopang tubuh gempalnya.

Tristan adalah satu-satunya harapannya kini. Kelihatannya ia memiliki kedudukan yang cukup baik di kantornya, meski bukan seorang sarjana seperti kakak sulungnya. Dan iapun tersenyum dan menyanjung kala Tristan dengan bangga mengatakan bahwa iklan sabun, shampoo dan susu bayi yang mereka tonton di televisi itu adalah hasil karyanya.

Dua minggu yang lalu, Ibu sepuh semakin merasa tentram, saat Tristan membawa pulang sebuah mobil sedan baru.

“Penghargaan dari kantor Bu, karena Tristan telah berhasil membawa beberapa perusahaan besar menjadi klien,” jelasnya.

“Alhamdullilah Tris. Kelihatannya kedudukanmu di kantor semakin mapan,”

“Ya, mudah-mudahan, Bu,” jawab Tristan sambil melempar kaos kaki

Ibu sepuh mengambilkannya segelas air dingin.

“Jadi apa lagi yang kamu tunggu Tris, umurmu sudah kepala 3 kan? Ibu ingin melihatmu berkeluarga. Ibu kan sudah tua, kalau ibu sudah tiada, siapa nanti yang mengurusimu, memasak untukmu?”

Tristan memandang ibunya. Ah, ibu, aku akan baik-baik saja Bu. Hidup selama empat tahun di Australia telah mengajariku untuk mandiri. Kalaupun aku memerlukan pasangan, itu bukan untuk memasak dan mengurusiku.

“Kamu punya pacar kan? Ibu sering lho mendengar kamu telepon pacarmu dengan suara yang mesra” goda sang ibu. Tristan hanya menghela napas panjang.

“Jadi kapan mau dibawa ke rumah? Ibu janji akan menerimanya dengan hangat”

“Ibu serius? Ibu akan menerima dia apa adanya?”

“Yang penting kamu benar-benar menyayanginya dan dia bisa membuatmu bahagia,”
ibu sepuh berujar mantap.

Dan sore ini, ibu sepuh duduk di teras rumahnya yang asri, menunggu si bungsu yang akan datang memperkenalkan pasangannya. Ah, inilah saat yang kutunggu-tunggu, saat yang selalu ditunggu-tunggu seorang ibu saat putranya telah dewasa. Akhirnya, bungsuku telah menemukan pelabuhan hatinya. Aku akan dapat pergi dengan tenang pada saatnya nanti.

Nah, itu dia suara mobilnya datang.

Tristan terlihat cerah mengenakan jeans dan kaos polo berwarna ungu muda. Di belakangnya terlihat seorang lelaki muda dengan jeans dan kemeja kotak-kotak biru. Ibu sepuh melongokkan wajahnya, mana dia calon menantuku? Tidak jadi datang kah? Lelaki muda ini barangkali adiknya?

“Bu, ini Tito, yang ibu sangat ingin kenal selama ini”

Dari sudut matanya, ibu sepuh melihat tangan Tristan yang kekar melingkar di pinggang lelaki muda itu. Mesra.

Dan dalam ruang yang seakan mulai berputar, perempuan sepuh kembali berhitung, berapa juta kali ia mengedipkan mata dalam 70 tahun ini? Berapa ribu sendok nasi telah ia suapkan ke dalam mulutnya? Dan kini, berapa buah mimpi buruk yang pernah singgah dalam hidupnya?


Images from here and here