Saturday, 4 August 2007

Dua Cappuccino

Di sepenggal sore dengan rintik hujan yang tak mau berhenti, sepasang lelaki dan perempuan memasuki sebuah kedai kopi dengan replika menara Eiffel di sudut ruangan. Alunan karya-karya Tchaikovsky lembut mengelus telinga, ruangan yang temaram, dan sekuntum mawar merah di atas setiap meja mungil bertaplak kotak-kotak merah. Sebuah setting yang romantis.

“Dua cappuccino panas dan satu waffle strawberry. Dua garpu ya, mas” kata si perempuan kepada pelayan, tanpa bertanya kepada pasangannya. Sebuah tindakan yang jelas mengisyaratkan bahwa ini bukanlah pertemuan mereka yang pertama, atau yang kedua.

Si lelaki langsung menyalakan sebatang Marlboro Light putih. Matanya menerawang menembus asap putih yang dihembuskan dengan berat.

“Jadi gimana?,” tanyanya kepada si perempuan tanpa mengalihkan pandangannya dari kepulan asap.

“Menurut kamu gimana?,” si perempuan balik bertanya.

“Don’t answer my question with question! Itu kebiasaan buruk kamu,” suara si lelaki terdengar meninggi.

Mata si perempuan langsung berkaca-kaca. Apa yang harus dikatakannya? Ia begitu menyayangi lelaki ini. Lelaki yang setahun belakangan ini menjadi tumpahan segala rasa di hatinya, yang sanggup membawakannya semburat pelangi di hari-harinya yang terkadang mendung dan muram.

Lelaki ini adalah sahabat masa kecilnya, yang tinggal di ujung kelokan rumahnya. Mereka melewati masa kecil bersama, berangkat ke sekolah berdua, berlari-lari dalam hujan, bersepeda di sore yang jingga, tertawa-tawa dan saling menggoda. Ah indahnya. Itu adalah cerita 20 tahun yang silam.

“Cappuccino nya mbak, silakan,” pelayan muda menempatkan secangkir cappuccino panas di hadapannya, lalu secangkir lagi di hadapan si lelaki, serta sepiring waffle dengan lelehan strawberry sauce yang segar dan dua garpu di antara dua cappuccino.

“Ga mungkin diterusin, kan?” suara si lelaki terdengar seperti gema dari lorong yang jauh.

Butir-butir air mata mulai bergulir di pipi si perempuan yang halus. Ingatannya melanglang ke masa awal kuliah, pertemuannya kembali dengan si lelaki setelah 10 tahun ia dan keluarganya pindah dari rumah di ujung tikungan tempat tinggalnya. Pertemuan di sebuah toko buku.

“Hai..., ini kamu kan?” si lelaki menegur dengan lucu. Matanya menari-nari dengan kepala condong ke kiri, sebuah kebiasaan semenjak kecil ketika ia sedang ingin menggoda.

“Hai..., apa kabar? Dimana kamu sekarang?” si perempuan tergagap menatap lelaki di hadapannya, setengah tak percaya.

“Di sini..., hahaha...,” jawab si lelaki dengan terbahak.

“Ah, kamu masih lucu aja....”

“Ayo, kita ngobrol dulu, sambil makan es krim yuk?”
ajak si lelaki.

Dan hari-hari selanjutnya mereka isi dengan pertemuan-pertemuan yang penuh canda tawa. Sayang cerita itu tak sempat berlanjut, karena si perempuan tak membuka pintu dengan lebar, dan si lelaki pun tak mengetuknya dengan lebih keras. Si lelaki menghilang begitu saja, dan si perempuan tak pernah juga mencari jejaknya.

Sampai 10 tahun kemudian, pertemuan kembali terjadi. Pada sebuah bank, ketika si perempuan berdiri bosan di antrian yang panjang. Lelaki itu tiba-tiba saja sudah ada disampingnya, dengan tatapan mata yang menari-nari dan kepala condong ke kiri.

“Ayo, kita ngobrol dulu, sambil ngopi yuk?” begitu ajaknya kali ini.

Dan dimulailah ritual menenggak cappuccino bersama, dari satu kedai kopi ke kedai lainnya. Lalu tatapan mata yang menari-nari lambat laun berubah menjadi lembut dan hangat, memancarkan kasih dan kerinduan.

Persahabatan di masa kanak-kanak dan remaja, kini telah menjadi persahabatan di antara seorang lelaki dan perempuan dewasa. Tapi bisakah persahabatan di antara lelaki dan perempuan dewasa tetap menjadi sebuah persahabatan? Tak ada yang kuasa menghentikan ketika canda tawa menjadi genggaman tangan, genggaman tangan menjadi pelukan mesra, lalu kecupan hangat, dan kemudian sentuhan-sentuhan yang kian memanas, sampai keduanya tak dapat lagi menahan letupan gairah yang terasa begitu wajar.

“I want you.......,” bisik si lelaki diantara rambut coklat si perempuan yang tergerai wangi.

Dan si perempuan menyerahkan dirinya dengan segenap rasa, tanpa syarat, tanpa ikatan. Gelombang itu dengan dahsyat melemparkannya ke ruang yang penuh warna, menghempaskannya di tumpukan awan yang lembut dan menyeretnya kembali ke pasir putih yang hangat. Ia menemukan rumahnya, and it just feels so right...., kenang si perempuan.

“Aku sudah cari-cari info,” suara lelaki itu memecah keheningan. “Kalau kamu siap, kita tinggal datang besok. Lebih cepat lebih baik”.

Ya, lebih cepat mereka mendatangi klinik itu lebih baik. Ini adalah keputusan paling rasional yang harus mereka ambil sebelum perut si perempuan makin membuncit. Ritual menenggak cappuccino bersama memang seharusnya tidak dimulai, sesal perempuan itu. Semua seharusnya tidak dimulai, karena sebentuk cincin emas berukir nama perempuan lain telah terlingkar di jari manis si lelaki.

Rintik hujan sudah berhenti. Kepulan asap Marlboro Light telah memudar. Alunan orkestra yang menyenandungkan karya-karya Tchaikovsky pun telah berganti dengan denting gitar Tohpati, Sendiri.

The game is over, life goes on. Now is the time to face the reality.

Sepasang lelaki dan perempuan berdiri meninggalkan meja bertaplak kotak-kotak merah dengan hidangan yang tak tersentuh dan wajah yang muram.

Di antara dua cappuccino, ada sepiring waffle strawberry, yang tak mungkin mereka singkirkan.

Images from here, here and here

5 comments:

Ari said...

Nice storytelling. You're a good writer :-)

Depressing plot though, because it's so close to the heart.

Luna said...

Thanks, Ari. I'm in the process of learning. Hope I can write something more cheerful soon.

@beradadisini said...

Ayo, ayo, daftar, daftar, jadi anggota ... hehehehe, sudah saatnya dia keluar dari ranah pribadi. Sayang, lho, kalau hanya disimpan sendiri ;p

Luna said...

Iya nih han, sementara belum daftar, di publish dulu di blog ini, ranah pribadi yang bebas dimasuki orang....

Anonymous said...

Hi Luna,

I like your stories, the sad love stories are almost very real.

Are they based on your own personal
experience(s) ?